Kami ingin musyawarah karena kami tinggal di Kampung Pulo sudah turun-temurun," ujar Holili, Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan Kampung Melayu, Senin (10/8).
Menurut Holili, sejak sosialisasi terakhir terkait rencana relokasi warga pada 5 Juni lalu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta hanya berbicara satu arah kepada warga. Seperti diberitakan Kompas pada 6 Juni, pertemuan sosialisasi itu berakhir tanpa kesepakatan.
Alih-alih diberikan pilihan, warga hanya diberi jadwal mendaftar untuk mendapatkan unit tempat tinggal di Rumah Susun Sederhana Jatinegara.
Warga tetap menuntut ada perhitungan ganti rugi atas rumah dan tanah mereka di kampung yang selalu terkena banjir luapan Kali Ciliwung tersebut. Mereka berpegang pada janji Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013 bahwa pemerintah akan memberikan ganti rugi yang layak atas tanah warga Kampung Pulo.
Namun, kini Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berpegang pada keputusannya bahwa tidak ada pembayaran ganti rugi bagi warga Kampung Pulo. Gubernur beralasan, sebagian besar warga Kampung Pulo tinggal di atas lahan negara.
Basuki menegaskan, tidak ada lagi perundingan dan relokasi akan dilangsungkan akhir Agustus ini (Kompas, 7/8).
Berpuluh tahun
Dalam perjalanannya, kampung urban di bantaran Kali Ciliwung ini sudah ada sejak berpuluh tahun lalu, seiring dengan perkembangan Pasar Jatinegara.
Tak sedikit warga di Kampung Pulo bekerja sebagai kuli panggul, pelayan toko, atau pedagang di Pasar Jatinegara. Mereka hidup turun-temurun di sana.
Eka (58), misalnya, membagi rumahnya menjadi dua bagian dan memberikan separuhnya untuk ditinggali anak bungsunya. Nenek 10 cucu ini mengaku sudah sejak lahir tinggal di Kampung Pulo dan berdagang buah di Pasar Jatinegara.
Sayid Soleh (57), warga yang menjadi generasi keempat ahli waris lahan 600 meter persegi di Kampung Pulo, juga mengharapkan keadilan dari pemerintah.
Guru majelis taklim di Kampung Pulo itu menuturkan, dirinya pernah mengurus tanah warisannya untuk peningkatan status kepemilikan menjadi sertifikat hak milik (SHM) pada 1994.
"Saya ajukan tanah saya sendiri. Tanah saya yang dibeli dua orang tetangga juga saya ajukan ke kecamatan supaya dibuatkan sertifikat," katanya.
Namun, SHM yang dikeluarkan hanya untuk tanah yang telah dibeli dua tetangganya itu. Tanahnya sendiri tak memperoleh sertifikat. "Kata petugas kecamatan, tanah saya terlalu luas sehingga tidak bisa dibuatkan sertifikat. Saya tak mengerti mengapa begitu," ujarnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.