Abraham menjelaskan, pada 2013, PT Ciputra Karya Utama membeli lahan milik mereka dengan harga di atas nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah yang ditetapkan di lokasi tersebut.
"Pada waktu dibeli Ciputra, harganya Rp 15 juta. Waktu itu, NJOP-nya Rp 12 juta," kata Abraham. (Baca: RS Sumber Waras Bantah Jual Lahan karena Dekat dengan Ahok)
Abraham menyebut NJOP lahan yang dibeli mengacu ke NJOP yang ada di kawasan Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat, walaupun lahan tersebut akses jalannya berada di Jalan Tomang Utara. (Baca: Diam-diam, KPK dan BPK Periksa Ahok soal Lahan RS Sumber Waras)
Saat itu, kedua pihak memasukkan klausul apabila lahan tidak bisa diubah peruntukannya, jual beli otomatis dibatalkan. Hal tersebut terbukti pada sekitar Mei 2014.
Saat ini, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama menyatakan tidak akan memberikan izin perubahan peruntukan untuk lahan yang dibeli oleh Ciputra itu. (Baca: Ini Alasan Pemprov DKI Ingin Punya RS Kanker Sendiri)
Akhirnya Ahok, sapaan Basuki, memberikan penawaran kepada RS Sumber Waras untuk membeli lahan tersebut. Namun, tidak seperti PT Ciputra Karya Utama, Abraham menyebut saat itu Ahok menawarkan harga standar sesuai yang ada di NJOP.
"Akhirnya, dia bilang mending kami saja yang beli dengan harga sesuai NJOP. Waktu itu, NJOP-nya Rp 20 juta (per meter persegi)," tutur Abraham. (Baca: BPK Permasalahkan NJOP Sumber Waras, Ini Pembelaan Pemprov DKI)
Selain harus melepas harga sesuai dengan NJOP, Abraham menyebut RS Sumber Waras juga harus menanggung semua biaya administrasi, mulai dari biaya notaris, pajak jual beli, termasuk menghapus nilai bangunan yang ada di atas lahan yang dibeli.
"Pada awalnya, kami memasang harga bangunan Rp 25 miliar. Tetapi, oleh ibu pemilik bilang, 'Bram, kita bantu Pemprov DKI'. Akhirnya, setelah melewati proses negosiasi, diputuskan nilai bangunan akhirnya dihapus," kata Abraham. (Baca: Djarot: Kalau Dewan Katakan Tak Ada Persetujuan, Lucu Wong Ada Tanda Tangannya)
Seperti diberitakan, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, pembelian lahan di RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI pada tahun 2014 terindikasi merugikan negara.
Hal itu disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Provinsi DKI tahun 2014. Salah satu hal yang dipermasalahkan oleh BPK adalah harga tanah yang dinilai tidak sesuai NJOP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.