Menurut dia, Warga DKI yang telah membayar pajak, termasuk retribusi sampah, bisa memprotes bila hal itu terjadi.
Ia pun menolak kliennya PT Godang Tua dan Navigat dianggap wanprestasi karena masalah sampah yang menumpuk akibat terhambat dalam pengiriman.
Sebab, masalah pengangkutan sampah bukan tugas kliennya.
"Jadi, masalah mulai menumpuknya sampah di DKI semata-mata adalah masalah pengangkutan ke Bantargebang yang menjadi tangung jawab Pemda DKI Jakarta," ujarnya.
"Karena itu, ketika sampah menumpuk di DKI karena gagal mengangkut ke Bantargebang, yang wanprestasi adalah Pemda DKI bukan Godang Tua dan Navigat," ujar Yusril.
Menurut Yusril, kliennya siap mengolah sampah kiriman dari DKI berapa pun jumlahnya. Ini, menurut dia, tak lepas dari gagalnya DKI melaksanakan pembangunan masterplan pengolahan sampah.
"Dalam masterplan, DKI akan membangun fasilitas pengolahan sampah di wilayahnya sendiri di Cakung, Cilincing, Marunda, Sunter, dan Duri Kosambi. Empat proyek masterplan gagal total. Yang jalan hanya di Sunter. Itu pun tersendat-sendat," ujarnya.
Biaya pengolahan sampah di Sunter Rp 400.000 per ton sampah. Sementara itu, biaya pengolahan sampah yang dibayar Pemda DKI di Bantargebang hanya Rp 125.000 per ton sebelum dipotong pajak dan retribusi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.