Yusril mengatakan, ia memikirkan mengenai dampak sosial dan politik jika masalah sampah ini terus berlarut.
"Saya menawarkan solusi damai dan komprehensif mengatasi masalah sampah di DKI dengan duduk bersama berunding cari solusi terbaik. Saya bukan takut berhadapan dengan Pemda DKI dan para kuasa hukumnya di pengadilan. Saya memikirkan dampak sosial dan politiknya jika berlarut-larut," kata Yusril dalam siaran persnya, Kamis (5/11/2015).
Menurut Yusril, masalah pengangkutan sampah oleh DKI ke Bantargebang sudah meresahkan warga Bekasi dan Cileungsi.
DKI juga belum memiliki MoU dengan Pemerintah Bogor sehingga menimbulkan protes warga dan menghambat pengiriman sampah.
Akibatnya, pengiriman sampah yang sejak Juli-Agustus sebanyak 6,4 ribu ton per hari turun menjadi sekitar 3.000 ton saja.
"Protes atas truk sampah DKI juga terjadi di Cileungsi karena tumpahan dan polusi sampah yang tercecer dari truk menimbulkan gangguan," ujar Yusril.
Terhambatnya pengiriman sampah itu, lanjut Yusril, bisa membuat sampah menumpuk di DKI.
Menurut dia, Warga DKI yang telah membayar pajak, termasuk retribusi sampah, bisa memprotes bila hal itu terjadi.
Ia pun menolak kliennya PT Godang Tua dan Navigat dianggap wanprestasi karena masalah sampah yang menumpuk akibat terhambat dalam pengiriman.
Sebab, masalah pengangkutan sampah bukan tugas kliennya.
"Jadi, masalah mulai menumpuknya sampah di DKI semata-mata adalah masalah pengangkutan ke Bantargebang yang menjadi tangung jawab Pemda DKI Jakarta," ujarnya.
"Karena itu, ketika sampah menumpuk di DKI karena gagal mengangkut ke Bantargebang, yang wanprestasi adalah Pemda DKI bukan Godang Tua dan Navigat," ujar Yusril.
Menurut Yusril, kliennya siap mengolah sampah kiriman dari DKI berapa pun jumlahnya. Ini, menurut dia, tak lepas dari gagalnya DKI melaksanakan pembangunan masterplan pengolahan sampah.
"Dalam masterplan, DKI akan membangun fasilitas pengolahan sampah di wilayahnya sendiri di Cakung, Cilincing, Marunda, Sunter, dan Duri Kosambi. Empat proyek masterplan gagal total. Yang jalan hanya di Sunter. Itu pun tersendat-sendat," ujarnya.
Biaya pengolahan sampah di Sunter Rp 400.000 per ton sampah. Sementara itu, biaya pengolahan sampah yang dibayar Pemda DKI di Bantargebang hanya Rp 125.000 per ton sebelum dipotong pajak dan retribusi.
"Dengan gagalnya masterplan, semua sampah dari DKI dibawa ke Bantargebang untuk diolah. Jumlahnya tiap tahun makin membesar," kata dia.
Truk-truk sampah yang dulu dibeli di zaman mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo kini juga mulai keropos. Air sampah menetes dari truk ke jalan yang menimbulkan protes warga.
"Karena warga protes, pengangkutan sampah ke Bantargebang terganggu. Kalau berlanjut, sampah di DKI kian menggunung," ujarnya.
Sementara ini, lanjut Yusril, tidak ada alternatif daerah sekitar yang mau menampung sampah dari dari DKI, kecuali Pemkot Bekasi.
"Karena itu, penyelesaian masalah sampah ini harus dilakukan dengan bijak, sabar, dan santun serta mendalami akar masalahnya untuk diselesaikan. Bukan dengan cara meledak-ledak mencari kambing hitam menyalahkan pihak lain serta mau benar dan menang sendiri," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.