Kerja 19 jam
Setelah kesepakatan baru itu, Da’i yang biasanya mengangkut sampah pada siang hari pun harus berganti waktu menjadi malam hari.
Biasanya, Da’i mulai mengangkut sampah pukul 07.00 dan selesai bongkar muatan pada pukul 14.00. Namun, kini, Da’i mulai bekerja pukul 16.00 dan baru selesai pukul 11.00 keesokan harinya.
Kendati harus bekerja 19 jam, Da’i dan kawan-kawan tak mendapat uang lembur.
Sebaliknya, dia malah harus merogoh pengeluaran tambahan untuk biaya makan selama menunggu di dalam TPST Bantargebang.
”Biasanya saya hanya makan sekali sehari sekitar Rp 15.000, sekarang harus makan tiga kali sehari di dalam TPST Bantargebang. Pulang ke rumah hanya mampir mandi dan ganti baju,” ucap Da’i yang digaji Rp 2,7 juta per bulan ini.
Sopir-sopir lain pun mengalami hal sama. Saat ditemui di sejumlah lokasi di Jakarta Barat, Kamis, wajah sopir-sopir truk sampah itu tampak pucat karena kurang tidur dan belum sempat pulang ke rumah.
Tersendatnya pengangkutan sampah ke Bantargebang juga menyebabkan berkurangnya rit mereka, dan konsumsi solar truk bertambah 10 liter per hari. Biaya tambahan tersebut dipikul sendiri oleh para sopir.
”Sejak hari Minggu, saya dan kawan-kawan sopir lain cuma bisa mengangkut sampah satu rit saja, padahal biasanya kami bisa mengangkat sampah dua rit. Pendapatan untuk satu rit Rp 25.000,” kata Agus Priyasejati, sopir truk sampah yang ditemui di Kompleks Perumahan DPU RW 004, Tegal Alur, Cengkareng, Jakbar, Kamis sore.
Sophian (33), sopir lain di Kecamatan Kebon Jeruk, mengeluhkan konsumsi solar yang bertambah.