Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Ada Jurus Sikut dan Gedor Pintu Kereta di Tokyo

Kompas.com - 18/11/2015, 07:51 WIB
Ana Shofiana Syatiri

Penulis

YOKOHAMA, KOMPAS.com - Berjejalan di dalam kereta, bukan hanya dialami penumpang KRL di Jabodetabek. Hal serupa juga dialami para pecinta kereta pada saat jam berangkat dan pulang kerja di Tokyo, Jepang.

Sama seperti di Jakarta, pada jam-jam sibuk itu, penumpang di dalam kereta di sana juga penuh. Meski tidak sampai membuat penumpang susah bernapas.

Bahkan, ada juga yang menggunakan jurus mendorong menggunakan badan, seperti penumpang KRL di Jabodetabek.

Bagi yang biasa menumpang KRL jurusan Bogor-Jakarta pada pagi hari, atau Jakarta-Bogor pada sore hari, pasti tahu rasanya saling mendorong di dalam kereta, atau pas mau naik kereta.

Contohnya saja di Stasiun Sudirman saat jam pulang kerja. Di peron, penumpang sudah penuh berjejal. Tak ada ruang buat penumpang yang hendak turun kereta.

Ketika kereta berhenti untuk menaikturunkan penumpang, aksi dorong terjadi. Penumpang yang hendak turun harus menggedor-gedor pintu kaca KRL agar diberi jalan oleh ratusan penumpang yang sudah memenuhi peron.

Syukur jika diberi jalan. Biasanya, penumpang turun kalah terdorong oleh penumpang yang masuk ke dalam kereta bak air bah.

Tak peduli sudah penuh, beberapa di antara mereka tetap memaksa masuk.

"Masuk lagi dong, masih kosong tuh...." Begitu biasanya mereka berteriak.

Padahal, di dalam kereta sudah penuh oleh penumpang dari stasiun-stasiun sebelumnya, seperti Tanah Abang dan Karet. Badan susah bergerak, kadang juga membuat penumpang semaput.

Biasanya, penumpang yang memaksa masuk itu akan menggunakan badannya untuk mendorong masuk penumpang lain di dalam. Badannya menghadap keluar dan tangan  berpegangan di atas frame pintu.

Kemudian, dengan kekuatannya, dia mendorong penumpang lain dengan menggunakan badan, bahkan bokongnya.

Dorongan tersebut biasanya berhasil membuat dia selamat ikut terangkut dalam kereta, meski nempel pada pintu otomatis.

Sementara, penumpang yang sudah empet-empetan di dalam kereta, semakin sulit bergerak.

PR selanjutnya adalah turun dari kereta. Berjejalan di dalam membuat penumpang harus berjuang menuju pintu keluar jika sudah mendekati stasiun tujuan.

Ada yang meminta baik-baik, ada juga yang menggunakan jurus sikut. Kalau sudah begitu, siap meringislah yang kena sikut. Atau menyikut balik sambil mengomel.

Di Jepang, ada juga sih penumpang "memaksa" penumpang lain memberi ruang untuknya. Namun, tidak sesadis penumpang KRL kita.

Mereka masih lebih sopan, tidak sampai membuat penumpang lain susah bernapas. Tidak juga membuat penumpang lain meringis.

Pada Selasa (17/11/2915) sekitar pukul 20.30 waktu Jepang, Kompas.com sempat merasakan berdesakan di dalam kereta dari Stasiun Shinagawa, Keihintohoku Line, jurusan Stasiun Tsurumi.

Antrean penumpang di peron juga tak kalah banyak. Sebagian besar berpakaian rapi seperti jas dan berdasi.

Tidak seperti penumpang KRL kita, mereka berbaris rapi di belakang garis kuning dan di samping. Bukan tepat di depan pintu kereta yang akan terbuka.

KOMPAS.COM/ANA SHOFIANA SYATIRI Penumpang dari dalam gerbong mendapat kesempatan turun lebih dulu, sementara penumpang yang akan naik memberi jalan.
Ketika kereta berhenti dan pintunya terbuka, penumpang dari dalam yang berdiri berjejalan di depan pintu, otomatis keluar ikut mengantre bersama penumpang yang akan naik. Sehingga, penumpang yang turun tidak terhalang.

Setelah tak ada lagi penumpang yang turun, penumpang yang mengantre dan yang memberi jalan segera masuk ke dalam kereta. Penumpang kembali penuh hingga batas pintu kereta.

Beberapa yang melihat tidak ada kemungkinan masuk melalui pintu itu, akan mencari pintu lain yang masih memungkinkan dirinya bisa masuk ke dalam kereta.

Namun, ada juga yang masih nekat memaksa masuk. Ya itu, mereka menggunakan bagian belakang badan mereka untuk mendorong penumpang lain.

Seperti yang dilakukan seorang pria yang memaksa masuk, padahal tas jinjing yang dibawanya nyaris terjepit pintu yang menutup.

Dia pun mendorong tubuhnya ke belakang, membuat penumpang di belakangnya terpaksa mundur. Syukur pintunya otomatis, sehingga tas tersebut selamat dari himpitan.

Disiplin

Hal serupa juga terlihat saat Kompas.com berada di subway Stasiun Shibakoen, Mita Line. Penumpang yang berjejal di peron tetap memaksa masuk meski di dalam kereta sudah penuh.

Lagi-lagi mereka bisa membuat penumpang lain mundur untuk memberinya sedikit ruang berdiri di depan pintu.

Menurut salah seorang warga Indonesia yang tinggal di Jepang, Mr Horas, kejadian ini biasa terjadi pada saat jam berangkat kerja dan pulang kerja.

Apalagi, sebanyak 2 juta lebih penduduk Jepang mengandalkan kereta sebagai moda transportasi setiap hari.

"Meski sedikit memaksa, tetapi tidak pernah ada benturan antarpenumpang di sini," kata Horas.

Menurut dia, kedisiplinan penumpang di Jepang sangat tinggi. Mereka mengantre pada tempatnya, tanpa perlu diawasi. Termasuk memberi jalan kepada penumpang yang hendak keluar.

Jadi, tak ada penumpang yang menggedor-gedor kaca pintu hanya untuk diberi jalan keluar. Tak ada juga penumpang yang menyikut penumpang lain hanya untuk bisa menuju pintu.

"Kuncinya hanya disiplin dan kesadaran diri orang Jepang," kata Horas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BPBD DKI: Banjir yang Rendam Jakarta sejak Kamis Pagi Sudah Surut

BPBD DKI: Banjir yang Rendam Jakarta sejak Kamis Pagi Sudah Surut

Megapolitan
Maju Mundur Kenaikan Tarif Transjakarta, Wacana Harga Tiket yang Tak Lagi Rp 3.500

Maju Mundur Kenaikan Tarif Transjakarta, Wacana Harga Tiket yang Tak Lagi Rp 3.500

Megapolitan
Mengapa Penjaga Warung Madura Selalu 'Video Call' Setiap Hari?

Mengapa Penjaga Warung Madura Selalu "Video Call" Setiap Hari?

Megapolitan
Gara-gara Masalah Asmara, Remaja di Koja Dianiaya Mantan Sang Pacar

Gara-gara Masalah Asmara, Remaja di Koja Dianiaya Mantan Sang Pacar

Megapolitan
Pendatang Usai Lebaran Berkurang, Magnet Jakarta Kini Tak Sekuat Dulu

Pendatang Usai Lebaran Berkurang, Magnet Jakarta Kini Tak Sekuat Dulu

Megapolitan
Pendaftaran Cagub Independen Jakarta Dibuka 5 Mei 2024, Syaratnya 618.750 KTP Pendukung

Pendaftaran Cagub Independen Jakarta Dibuka 5 Mei 2024, Syaratnya 618.750 KTP Pendukung

Megapolitan
Polisi Tilang 8.725 Pelanggar Ganjil Genap di Tol Jakarta-Cikampek Selama Arus Mudik dan Balik

Polisi Tilang 8.725 Pelanggar Ganjil Genap di Tol Jakarta-Cikampek Selama Arus Mudik dan Balik

Megapolitan
Belajar dari Pemilu 2024, KPU DKI Mitigasi TPS Kebanjiran Saat Pilkada

Belajar dari Pemilu 2024, KPU DKI Mitigasi TPS Kebanjiran Saat Pilkada

Megapolitan
Kisah Bakar dan Sampan Kesayangannya, Menjalani Masa Tua di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa

Kisah Bakar dan Sampan Kesayangannya, Menjalani Masa Tua di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa

Megapolitan
Bandara Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk Se-Asia Tenggara Selama Periode Mudik Lebaran

Bandara Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk Se-Asia Tenggara Selama Periode Mudik Lebaran

Megapolitan
KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

Megapolitan
Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Megapolitan
Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan 'Live' Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan "Live" Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Megapolitan
Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Megapolitan
Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com