Fungsinya sebagai pusat ekonomi baru berbasis jasa dan ekonomi kreatif. Selain itu, kawasan baru ini diharapkan menjadi magnet pertumbuhan baru yang mengerem kecenderungan pembangunan ke arah selatan Jakarta (di kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air) akibat keterbatasan lahan.
Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawaty menyebutkan, selain menambah daratan baru, nilai tambah reklamasi akan dimanfaatkan untuk membiayai, meningkatkan, dan merevitalisasi Jakarta melalui subsidi silang.
Subsidi untuk mengatasi persoalan di daratan itu didapat dari kewajiban dan kontribusi pengembang pulau reklamasi.
Subsidi akan dipakai, antara lain, untuk pengerukan sedimen sungai dan waduk di daratan Jakarta, pembangunan rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah, penataan kawasan kumuh, pembangunan jalan dan jembatan serta infrastruktur pengendali banjir, termasuk pompa, pintu air, dan tanggul pantai.
Selama ini, dasar hukum reklamasi 17 pulau itu adalah Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan aturan pelaksana turunannya.
Selain itu, reklamasi juga mengacu pada sejumlah ketentuan yang terbit kemudian, antara lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kajian Lingkungan Hidup Strategis Kawasan Teluk Jakarta dari Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2011, serta Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030.
Konsultan Pemprov DKI Jakarta dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, Hesti D Nawangsidi, berpendapat, reklamasi pantai utara Jakarta dibutuhkan untuk mengakomodasi perkembangan Jakarta di masa depan.
Kepentingan DKI mereklamasi pantai itu telah dikaji sejak awal 1990-an dan dibahas berulang kali.
Puncaknya terjadi dalam Forum Rebirth of Jayakarta tahun 1994, yang menyimpulkan adanya keperluan mereklamasi dan merevitalisasi daratan pantai lama.
Perlu antisipasi
Akan tetapi, reklamasi juga masih menuai kritik dan protes dari sejumlah kalangan. Ahli oseanografi Institut Pertanian Bogor, Alan F Koropitan, berpendapat, reklamasi bakal mengubah lanskap perairan Teluk Jakarta.
Situasi itu bakal membuat sirkulasi arus di tengah teluk melemah dan menurunkan kemampuannya ”mencuci” perairan secara alami dari sedimen dan cemaran.
Proses ”pencucian” diperkirakan bertambah dari tujuh hari menjadi 14 hari. Padahal, tanpa reklamasi pun, sedimentasi dan pencemaran di Teluk Jakarta sudah parah.
”Ada sederet dampak negatif yang timbul dengan adanya reklamasi. Pemerintah harus menjelaskan risiko dan bagaimana mengantisipasinya kepada masyarakat,” kata Alan, yang juga Direktur Pusat Kajian Oseanografi Surya Institute.
Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Zaenal Muttaqien menambahkan, reklamasi bakal memicu pelandaian sungai-sungai di Jakarta.