Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stephanie Handojo, Penyandang "Down Syndrome" Berprestasi Dunia

Kompas.com - 14/02/2016, 09:36 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Perkenalan Kompas.com dengan Stephanie Handojo (24) terjadi tidak disengaja di Ecopark, Taman Impian Jaya, Ancol, Jakarta Utara, akhir Januari lalu.

Saat itu, sebuah sekolah di wilayah selatan Ibu Kota menggelar penggalangan dana untuk anak-anak berkebutuhan khusus, terutama bagi mereka yang dinaungi organisasi Special Olympics Indonesia (Soina).

Saat itulah Kompas.com mengetahui, perempuan yang terlahir sebagai penyandang down syndrome itu adalah pemilik setumpuk prestasi.

Prestasi perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, ini, bahkan bukan sekadar raihan di tingkat nasional, melainkan Stephanie sudah mencatatkan namanya di kancah internasional.

Pada 2011, Stephanie menjadi peraih medali emas cabang olahraga renang di ajang Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani, untuk nomor 50 meter gaya dada.

Ajang ini adalah sebuah pesta olahraga bagi anak-anak berkebutuhan khusus dari seluruh dunia.

"Saya senang sekali (ikut olimpiade) karena tidak semua orang punya kesempatan yang sama," ujar Stephanie kepada Kompas.com.

Capaian Fani, panggilan akrab Stephanie, di Yunani menjadi istimewa karena saat itu menjadi kali pertama atlet Indonesia meraih emas di ajang internasional itu.

"Saingannya berat, ada (atlet) dari Perancis, AS, dan Taiwan," kenang sulung dari tiga bersaudara itu.

Prestasi internasional Stephanie tak terhenti di Yunani. Dia juga menyabet emas cabang renang di ajang Special Olympics Asia-Pacific 2013 di Newcastle, Australia.

Di Australia, dia juga menyabet perak untuk nomor 100 meter gaya dada, sementara di ajang berikutnya di Los Angeles, AS pada 2014, Stephanie menyabet perak untuk kategori gaya dada 50 meter dan gaya bebas 100 meter.

Prestasi internasional Stephanie semakin lengkap ketika dia menjadi wakil Indonesia sebagai pembawa obor Olimpiade London 2012.

"Sebanyak 20 anak dari 20 negara terpilih menjadi pembawa obor ini," kata Maria Yustina Tjandrasari (50), ibunda Fani.

Stephani, lanjut Yustina, terpilih lewat program British Council dan Unicef yang sebelumnya menyaring belasan ribu anak dari seluruh dunia.

Hal yang lebih istimewa adalah Stephanie menjadi satu-satunya anak berkebutuhan khusus yang dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade.

Dia juga menjadi anak penyandang tunagrahita pertama yang menjadi pembawa obor pesta olahraga terbesar di dunia itu.

"Saya senang sekali bisa punya teman dari banyak negara," ujar Stephanie mengenang kegiatannya di London itu.

"Saya juga senang bisa lihat David Beckham, tetapi cuma lewat layar lebar," tambah dia sambil tersenyum.

Tak hanya di bidang olahraga saja Stephanie meraih prestasi. Pada 2009, dia mencatat rekor MURI sebagai penyandang down syndrome pertama yang bisa memainkan 22 lagu tanpa henti dengan menggunakan piano.

Deretan prestasi ini membuat Stephanie mendapatkan berbagai penghargaan dan bisa bertemu dengan berbagai tokoh negeri ini. Setidaknya, dia pernah diterima dua presiden di Istana Negara, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

"Tetapi, saya belum penah ketemu Bapak Ahok (Gubernur DKI). Saya ingin sekali ketemu Pak Ahok," ujar Stephanie dengan wajah berbinar.
Perjuangan keras

Segudang prestasi ini tentu tak datang begitu saja. Butuh waktu panjang dan upaya keras dari Stephanie.

Namun, peran sang ibu Maria Yustina dalam membentuk Stephanie menjadi sosok yang mandiri seperti saat ini sangat besar.

"Berat membesarkan anak dengan kebutuhan khusus seperti Stephanie. Tantangan terbesar justru komentar dan terkadang cibiran dari masyarakat," kenang Yustina.

Saat melahirkan putri sulungnya itu, Yustina awalnya tidak mengetahui jika Stephanie menyandang tunagrahita.

"Saya cuma lihat kok wajahnya berbeda dengan saya dan suami. Dia jarang menangis seperti bayi pada umumnya," tambah Yusnita.

Setelah mengetahui kondisi Stephanie sebenarnya, Yusnita tak patah arang, tetapi justru ingin memberikan yang terbaik bagi putrinya itu.

"Saya dikenalkan dengan seorang dokter umum yang memiliki anak penyandang down syndrome. Anak itu meninggal dunia dalam usia 16 tahun," kata dia dalam logat Surabaya yang kental.

Dari dokter itulah, Yustina mendapatkan berbagai buku soal menangani anak-anak penyandang tunagrahita yang kemudian dia gunakan sebagai dasar untuk membesarkan Stephanie.

"Salah satu yang saya pelajari lewat buku itu adalah membesarkan anak-anak seperti Fani adalah kasih sayang orangtua," tambah dia.

Selain itu, lanjut dia, saat membesarkan Fani, dia berusaha memperlakukan dia seperti anak-anak pada umumnya.

Anak-anak seperti Fani, kata dia, tanpa latihan terus-menerus akan sulit untuk melakukan hal-hal kecil dan rutin sekalipun.
 
"Seperti soal makan, saya ajari dia memegang sendok, menyendok makanan, dan memasukkan makanan ke dalam mulut. Saya ajari berulang kali hingga dia bisa melakukannya sendiri," papar dia.

Pernah trauma

Keteguhan Yustina untuk membesarkan Stephanie seperti anak-anak pada umumnya juga terlihat saat dia mengajari anaknya berenang.

"Saya lihat kalau di kolam renang dia selalu lebih cepat dari anak-anak sebayanya. Jadi, saya carikan dia pelatih renang," kata Yustina.

Namun, saat Stephanie berusia 12 tahun, dia sempat tenggelam di kolam renang. Peristiwa tersebut sempat membuat Stephanie trauma.

"Jika lomba, dia hanya mau di posisi start satu atau delapan, yang paling dekat dengan tepian kolam. Jadi, kalau dia merasa mau tenggelam, dia tinggal berpegangan," ujarnya.

"Akibat trauma itu, Fani selalu mual dan kadang-kadang muntah sebelum berlomba, tetapi perlahan-lahan trauma itu mulai hilang," lanjut Yustina.

Bahkan, untuk mengobati rasa trauma Fani terhadap kolam renang, Yustina terpaksa bersikap keras terhadap putri sulungnya itu.

"Saya pernah peluk dia, lalu masuk ke kolam renang bersama-sama. Di kolam, saya lepaskan dia, saat dia memeluk, saya lepaskan lagi," dia mengenang.

Tak jarang, Yustina diprotes para orangtua yang melihat cara dia menangani Fani. Namun, perempuan ini yakin bahwa dia melakukan yang terbaik untuk putrinya.

Keteguhan Yustina ditambah ketekunan Stephanie dalam berlatih tak sia-sia. Prestasi yang diraih Stephanie telah memberikan kebanggaan bagi keluarga dan negeri ini.


 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Bekerja Sebagai Pengajar di Kampus Jakarta

Megapolitan
Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Bentuk Unit Siaga SAR di Kota Bogor, Basarnas: Untuk Meningkatkan Kecepatan Proses Penyelamatan

Megapolitan
Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Aksi Pencurian Kotak Amal di Mushala Sunter Terekam CCTV

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Siswa SMP yang Gantung Diri di Jakbar Dikenal Sebagai Atlet Maraton

Megapolitan
Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko 'Saudara Frame': Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Detik-detik Mencekam Kebakaran Toko "Saudara Frame": Berawal dari Percikan Api, Lalu Terdengar Teriakan Korban

Megapolitan
Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Polisi Periksa Saksi-saksi Terkait Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari

Megapolitan
Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Massa Aksi yang Menuntut MK Adil Terkait Hasil Pemilu 2024 Bakar Ban Sebelum Bubarkan Diri

Megapolitan
Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Massa Pendukung Prabowo-Gibran Juga Demo di Patung Kuda, tapi Beberapa Orang Tak Tahu Isi Tuntutan

Megapolitan
DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

DPC PDI-P: Banyak Kader yang Minder Maju Pilwalkot Bogor 2024

Megapolitan
Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Siswa SMP di Palmerah Sempat Cekcok dengan Kakak Sebelum Gantung Diri

Megapolitan
Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Salah Satu Korban Tewas Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" adalah ART Infal yang Bekerja hingga 20 April

Megapolitan
Saat Toko 'Saudara Frame' Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Saat Toko "Saudara Frame" Terbakar, Saksi Dengar Teriakan Minta Tolong dari Lantai Atas

Megapolitan
9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

9 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Minta Polisi Periksa Riwayat Pelanggaran Hukum Sopir Fortuner Arogan Berpelat Dinas TNI, Pakar: Agar Jera

Megapolitan
Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Diwarnai Aksi Lempar Botol dan Batu, Unjuk Rasa di Patung Kuda Dijaga Ketat Polisi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com