Tempat itu pun kemudian dikenal sebagai tempat pelacuran, dengan rumah remang-remang yang mulai berdiri di sana. Tempat pelacuran tersebut juga ditetapkan sebagai lokalisasi melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 per tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila.
Pekerja seks yang tadinya tersebar di banyak tempat pun mulai bergabung ke sana. Pada tahun 1990-an, jumlah pekerja seks di sana sudah lebih dari 2.000 orang dengan pengawasan 258 mucikari dan 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, dan 155 orang tukang ojek.
Masih banyak lagi orang yang menggantungkan hidupnya di sana seperti tukang cuci dan pemilik warung yang tidak terhitung jumlahnya. Menjelang tahun 1999, mulai muncul wacana penggusuran lokalisasi Kramat Tunggak yang menuai pro dan kontra warga di sana.
Sutiyoso kemudian turun menanganinya dengan berkomunikasi dan membentuk sebuah tim yang bertugas melakukan rekayasa sosial.
"Tim itu untuk memetakan rekayasa sosial, apa sih dampak saat Kramat Tunggak dibongkar, gimana mucikarinya, PSK-nya, akibat pembongkaran terhadap warga yang menggantungkan hidup sehari-hari cari nafkah di lokalisasi itu," kata mantan anggota Tim Kajian Pembongkaran Kramat Tunggak Ricardo Hutahean (40) kepada Kompas.com, Senin (15/2/2016).
Setelah membuat rekayasa sosial, para mucikari ditawarkan uang ganti rugi sebelum penggusuran dilakukan. Selain itu, PSK yang jumlahnya ribuan diberi pendampingan terus-menerus selama lima tahun.
"Mereka juga difasilitasi untuk melakukan kegiatan setelah pensiun dari PSK. Ikut kursus menjahit, masak, tata boga, dan lain-lain," tutur Ricardo.