Maka calon yang berkhidmat pada kebaikan partai siap-siaplah “diporotin”, meminjam anak-anak ABG sekarang. Siap kere kalau gagal nyalon, apalagi kalah setelah nyalon. Tidak jarang tersiar kabar, banyak politisi stres, depresi bahkan sakit jiwa setelah gagal nyalon.
Nah, jalur independen boleh dibilang memutus rantai politik fulus sekaligus mengobrak-abrik tatanan yang sudah karatan ini, di mana calon harus dari partai politik.
Beda dengan memilih calon anggota parlemen yang tentu harus memilih partai politik. Akan tetapi, memilih calon bupati/walikota, gubernur dan bahkan Presiden RI, mestinya tidak harus.
Perorangan pun, seperti yang dilakukan Ahok, Adhyaksa atau Marco untuk Gubernur DKI di Pilkada 2017 kelak, mestinya dimungkinkan. Keberadaan jalur independen dijamin undang-undang kok!
Undang-undang mengamanatkan, tanpa dukungan partai politik seorang calon dari jalur independen hanya memerlukan persyaratan yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Putusan MK.
Untuk calon Gubernur DKI Jakarta, misalnya, komisi menetapkan angka minimal 523.210 alias 7,5 persen dari jumlah pemilih DKI yang diperkirakan sebanyak 7 juta. Angka yang ditetapkan itu diwujudkan lewat pengumpulan fotokopi kartu tanda penduduk yang terverifikasi.
Jumlah ini jauh lebih ringan dari persyaratan sebelumnya, yakni 7,5 persen dari 10 juta penduduk DKI atau harus mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak 750.000.
Dari tiga nama; Ahok, Adyaksa dan Marco, sebagaimana kabar yang tersiar di media massa dan media sosial, baru Ahok yang melalui relawan “Teman Ahok”, telah berhasil mengumpulkan KTP DKI Jakarta melampaui persyaratan yang diminta komisi.
Relawan ini konon bertekad mengumpulkan bukan hanya 750.000 fotokopi KTP, tetapi mengumpulkan minimal 1 juta fotokopi KTP. Jumlah ini dianggap aman karena adanya kekhawatiran beberapa fotokopi KTP digugurkan KPU Daerah saat dilakukan verifikasi nanti.
Fenomena calon independen ini sangat menarik, layak masuk bilik kampus dan ruang-ruang akademi untuk dikaji, khususnya calon gubernur independen DKI Jakarta.
Mudah dipahami, DKI Jakarta adalah miniatur Indonesia di mana 70 persen perekonomian negeri sering disebut-sebut berputar di wilayah seluas “hanya” 740 kilometer persegi. Bandingkan dengan wilayah provinsi tetangga, Jawa Barat, yang memiliki luas 35.000 kilometer persegi atau 47 kali luas DKI Jakarta.
Menjadi Gubernur DKI Jakarta boleh jadi lebih bergengsi dari sekadar Ketua DPR RI. Ia menjadi “Presiden RI Kecil” atau “Rajanya Gubernur se-Indonesia” yang mengelola secuail daerah khusus Ibukota.
Bukan daerah yang kaya raya karena sumber daya alamnya, melainkan karena wajah ekonomi Indonesia ada di sini. Jakarta adalah etalase ekonomi Indonesia yang tercermin dari berdirinya gedung perkantoran, hotel dan kantor pemerintahan pusat, yang semua ada di wilayah yang secuil ini.
Itu sebabnya, menjadi Gubernur DKI adalah cita-cita sekaligus ambisi; perorangan dalam hal ini independen maupun kelompok, yaitu partai politik.
Calon independen juga sekaligus menyiratkan, sesungguhnya mesin politik tidak terlalu penting dan dominan dalam perhelatan Pilkada. Pengaruh, ketokohan, track record, dan prestasi yang melekat pada diri si calon, akan menjadi penentu. Irwandi sudah membuktikannya di Aceh.
Barangkali salah satu dari tiga nama ini; Ahok, Marco dan Adhyaksa, akan membuktikan keampuhan “jalur murah” ini jika berhasil menjadi Gubernur DKI berikutnya di tahun 2017 nanti.
Selamat datang gubernur independen DKI Jakarta!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.