Ini dunia politik, Bung! Salah satu titik lemah gugatan adalah menyangkut kata “pasangan” sebagaimana termaktub dalam undang-undang itu.
Penggugat bisa mementahkan argumen KPUD Jakarta karena belum tentu 700.000 pemilik KTP yang telah merelakan suaranya untuk Ahok setuju dengan calon wakil gubernur yang dipilih Ahok kelak.
Bagaimana jika hal ini terjadi? Praktisnya, bisa saja mereka yang tidak setuju atas calon wakil gubernur yang dipilih Ahok datang berduyun-duyun ke KPUD Jakarta untuk menarik kembali dukungannya. Kemudian jumlah KTP dukungan pun otomatis berkurang.
Kalau berkurangnya setengah dari 700.000 KTP dukungan yang terkumpul, maka KTP yang sah tinggal 350.000 yang berarti kurang 173.000 KTP lagi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh kekurangan 173.000 KTP dukungan itu?
Apakah kelak mereka si pemilik KTP yang tidak setuju dengan pasangan pilihan Ahok itu akan rela berduyun-duyun mendatangi KPUD Jakarta hanya untuk sekadar menarik kembali dukungannya? Berapa lama proses ini memakan waktu?
Bagaimana penyelesaian dari KPUD Jakarta sendiri? Apakah memverifikasi satu persatu 700.000 KTP yang telah dikumpulkan Teman Ahok? Kalau ini yang terjadi, akan berapa lama KPUD Jakarta menghabiskan waktu sekadar melakukan verifikasi saja?
Sekadar mengingatkan, Teman Ahok telah bekerja keras sejak Juni 2015 untuk mengumpulkan 700.000 KTP dukungan yang berarti 9 bulan lamanya.
Lalu, berapa lama waktu yang dibutuhkan KPUD Jakarta untuk memverifikasi keabsahan 700.000 KTP dukungan dan mencoret pemegang KTP dukungan bagi mereka yang tidak setuju dengan calon wakil gubernur pilihan Ahok?
Kedua, penetapan KPUD Jakarta ketika mensahkan pasangan Ahok atau pasangan perseorangan lainnya yang saat pengumpulan KTP belum punya pasangannya, rawan gugatan ke PTUN.
Bagaimanapun, KPUD Jakarta adalah representasi Negara, sehingga apa yang diputuskannya bisa digugat ke PTUN oleh siapa saja, khususnya yang berkepentingan dengan Pilkada 2017.
Ketiga, tafsir KPUD Jakarta atas Undang-undang No 8 Tahun 2015 yang kemudian diturunkan menjadi Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015, juga rawan kena gugatan melalui judicial review di Mahkamah Agung oleh siapapun, bahkan oleh warga biasa yang tidak tersangkut Pilkada 2017.
Mumpung ketiga hal tersebut di atas belum terjadi, ada baiknya KPUD Jakarta meminta Fatwa MA atas tafsir ini untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya dispute atau perselisihan saat verifikasi KTP dilakukan kelak.
Keuntungan dari meminta Fatwa MA antara lain memberi kepastian kepada calon independen dan tim sukarelawannya bahwa apa yang mereka lakukan, yaitu mengumpulkan KTP dukungan, bukanlah pekerjaan sia-sia jika MA membenarkan proses dan prosedur ini.
Jika MA menyalahkannya, maka alokasi waktu untuk mengumpulkan kembali KTP dukungan bagi Ahok dan pasangannya masih dimungkinkan.
Keuntungan lain permintaan Fatwa MA adalah jika terjadi judicial review Peraturan KPU terhadap Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dilakukan oleh siapapun, maka Fatwa MA menjadi argumen dasar KPUD Jakarta.
Demikian juga kalau terjadi gugatan ke PTUN atas penetapan KPUD Jakarta representasi negara terhadap diloloskannya calon perseorangan.
Simulasi berupa kemungkinan-kemungkinan seperti inilah yang harus sudah dipikirkan dan terlebih lagi diantisipasi KPUD Jakarta.
Tujuannya tidak lain memberi pemahaman dan kepastian dalam menjalankan Peraturan KPU sebagai hasil tafsir perundang-undangan di atasnya terkait pengumpulan KTP dukungan untuk pasangan calon perseorangan.
Tujuan utamanya tentulah agar Pilkada DKI Jakarta yang akan memilih pasangan Gubernur dan Wakilnya itu berlangsung lancar, aman, jujur, adil, dan tanpa perselisihan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.