Memang berat menghadapi konsumen di era digital. Tapi itulah pasar yang dihadapi saat ini di seluruh dunia, khususnya di kota-kota besar yang padat pengguna Internet seperti Jakarta.
Saat ini, sekitar 80 juta penduduk Indonesia sudah menggunakan Internet dan hampir semuanya aktif di media sosial. Angka ini akan naik terus dari waktu ke waktu, sehingga boleh dibilang pasar digital adalah pasar masa kini dan masa depan.
Jika ingin bertahan di era digital, perusahaan/produsen harus memahami perilaku konsumen digital ini. Bukan hanya perusaahaan taksi seperti di atas saja, hampir semua perusahaan mau tak mau harus melayani konsumen digital.
Tekanan terbesar sekarang terjadi di industri pariwisata (tujuan wisata, hotel, tiket pesawat), industri musik, media, logistik dan commerce. Tapi tekanan juga sudah mulai dirasakan oleh berbagai industri lain karena publik/konsumen bersuara keras via media sosial saat layanannya jelek.
Sayang, banyak perusahaan besar masih gagap memasuki era digital karena berbagai faktor terutama faktor organisasi yang besar dan lambat, serta kebiasaan mengabaikan konsumen.
Khusus untuk perusahaan taksi di Jakarta, saran saya ini:
1. Berhentilah memaksa sopir berdemonstrasi di jalanan yang malah menimbulkan antipati konsumennya. Saya sempat melihat rombongan taksi yang demonstrasi sambil melanggar lalu lintas yang membuat konsumen makin tak suka. Bagaimana bisa mendapat simpati konsumen jika perilakunya seperti itu?
2. Berhentilah merengek kepada pemerintah untuk menutup layanan berbasis aplikasi. Era digital tak akan bisa dihentikan. Sejarah sudah membuktikan, mesin ketik diganti komputer, lalu komputer pun kini bersaing dengan ponsel cerdas. Nonton film kini tak harus di bioskop, bisa diganti home theater. Tahu berita tak harus baca koran, nonton teve atau mendengarkan radio, tapi cukup dari ponsel buka Twitter atau Facebook. Ojek pangkalan pun kini sudah tak berseteru dengan Gojek dan layanan sejenis. Dan seterusnya.
3. Fokus kepada layanan pelanggan. Saya yakin, para pengusaha taksi itu paham betul keluhan konsumennya, terutama tentang kenyamanan armada taksinya dan perilaku sopirnya.
Memperbaiki dua ini memang tak mudah dan butuh biaya. Bersaing dengan mobil-mobil baru yang dipakai Uber dan Grabtaxi itu membutuhkan peremajaan mobil-mobil taksi yang tua-tua. Itu artinya investasi. Masih sanggup enggak perusahaan invesatasi di armada baru? Bagi Uber dan Grabtaxi, itu bukan masalah karena mobil bukan punya mereka, tapi punya mitra lokal.
Memperbaiki perilaku sopir berarti urusan rekrutmen dan pengembangan SDM, yang tentu juga tak mudah. Ini berbeda jauh dengan layanan berbasis aplikasi yang sopirnya dinilai langsung oleh penumpang. Sistem yang murah meriah, tapi menakutkan bagi sopir untuk nakal atau tak profesional.
Tak ada jalan lain, dua hal itu harus diperbaiki.
4. Masuk dan bertempur di layanan berbasis aplikasi. Konsumen di era digital menyukai layanan digital yang memudahkan hidupnya. Jika ada aplikasi yang bisa membuatnya memesan taksi dari dalam gedung, tak perlu berpanas-panasan di luar gedung atau pinggir jalan, mereka akan memakainya. Inilah keunggulan aplikasi seperti Gojek dan Uber.
Mau tak mau, jika masih ingin ada di benak konsumen digital, layanan taksi konvensional pun harus ada di ponsel konsumen.
Tapi ingat, aplikasi ini hanyalah akses cepat oleh konsumen. Jika perbaikan layanan tak dilakukan, ya akses itu tak ada gunanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.