Ada yang bergeser dalam diskusi kita. Warisan sentimen masa lalu dari abad pertengahan yang belum sepenuhnya pulih harus kembali disiram minyak api.
Pilihan atas dasar keyakinan iman sepenuhnya harus dihormati. Sah. Betul. Ini negara demokrasi. Setiap orang berhak menyatakan pilihan mereka atas dasar apa pun.
Namun, menyebarkan kabar bohong berbungkus iman untuk menyudutkan pihak lain adalah perilaku yang tak sepantasnya dilakukan.
Memperdebatkan iman dengan maksud mencari siapa yang benar dan siapa yang salah hanya akan membawa kita pada kebuntuan. Masalahnya, tidak semua orang memiliki kebajikan untuk memaknai perbedaan sebagai sesuatu yang harus dihargai dan dihormati.
Padahal, Sang Pemilik langit menurunkan hujan untuk orang jahat dan orang baik; menerbitkan matahari yang sama untuk orang yang sembahyang dan tidak sembahyang; memberi merdu kicau burung untuk orang saleh dan tidak saleh.
Lalu, kenapa kita bertikai karena kita berbeda? Jika ujungnya adalah kebencian, apa untungnya? Mencapai tujuan politik dengan menebar kebencian?
Sungguh cara yang tidak beradab. Belum berkuasa sudah sedemikian itu wataknya. Apa yang diharapkan dari kekuasaan yang diraihnya?
Maka, baiklah jika keyakinan iman yang berbeda itu bersemayam di ruang pribadi kita yang paling dalam.
Menjadi Indonesia
Lalu, apa yang harus kita diskusikan, yang kita pro-kontrakan, yang kita uji kesahihannya?
Sampai detik ini, kesepakatan kita bernegara adalah apa yang dicetuskan para bapak pendiri bangsa ini: Indonesia untuk semua. Belum berubah.
Soekarno, saat pidato di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, berkata,
"Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan di sini maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua."
Pada bagian lain pidatonya saat itu, ia menegaskan lagi,
"Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat."