JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sedang mengkaji penghapusan sistem "three in one" di jalan protokol di Ibu Kota. Namun rencana tersebut sangat disayangkan oleh para Joki "three in one".
Salah satunya Maryati (50). Ia meminta agar Ahok mengurungkan niatnya untuk menghapus sistem tersebut. Pasalnya, setelah suaminya meninggal 3 tahun lalu, ia membiayai kedua anaknya dari hasil menjadi joki.
"Jangan dihapus kalau bisa. Nanti saya mau cari duit dari mana? Anak-anak masih butuh buat makan sama sekolah," ujarnya saat berbincang dengan Kompas.com di kawasan SCBD, Jakarta, Rabu (30/3/2016).
Warga Slipi, Jakarta Barat tersebut mengaku sudah menjadi joki selama tiga tahun. Saat menjadi joki ia pun turut membawa anak kandungnya yang berusia 8 tahun dan 4 tahun.
Maryati menuturkan membawa kedua anaknya agar penghasilannya bertambah. Sebab jika satu kepala dihargai Rp 20 ribu, Maryati bisa mendapatkan uang sebesar Rp 60 ribu sekali jalan karena membawa kedua anaknya.
"Ini anak kandung saya. Lumayan kalau mereka saya ajak kan diitungnya jadi 3 orang. Biasanya sehari saya bisa dapet Rp 120 ribu dua kali narik," ucapnya. (Baca: Banyak Joki Bawa Anak-anak, Ahok Akan Hapus "three in one")
Maryati menceritakan pernah terjaring razia oleh petugas Dinas Sosial pada waktu sehabis Lebaran tahun 2015 lalu. Saat itu ia terpaksa menginap dua hari di panti sosial di Cipayung, Jakarta Timur sebelum akhirnya diperbolehkan pulang setelah diurus oleh kerabatnya.
"Alhamdulillah mas cuma nginep dua hari di sana (Cipayung). Kemarin itu sama anak saya juga kena razia. Untung ada saudara yang mau ngurusin buat ngebebasin saya," katanya.
Senada dengan Maryati, Anthoni (20) meminta agar Ahok jangan menghapus "three in one". Menurutnya dengan dihapusnya "three in one" ia hanya bisa mengandalkan profesi utamanya saja sebagai tukang semir sepatu yang menurutnya hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Mintanya sih jangan dihapus. Kalaupun dihapus asal dikasih kerjaan lain aja buat nambahin bayar kontrakan," ujarnya.
Pria asal Cirebon ini mengaku baru enam bulan menjadi joki. Ia menyebut hanya jadi joki pada sore hari saja, karena ia pada pagi harinya menjadi tukang semir sepatu di Polda Metro Jaya.
"Rata-rata dapet 60 ribu tiga kali narik. Tergantung dari yang ngasihnya, kalau yang baik kadang-kadang sekali narik dikasih 50 ribu," ucapnya.
Pria yang kerap disapa Anton ini menuturkan belum pernah mendapatkan perlakuan buruk dari pelanggannya. Ia hanya mengeluhkan ada pelanggan yang minta ditemani sampai kawasan sekitar Monas, namun hanya dikasih uang sebesar Rp 10 ribu.
"Ada aja mas yang pelit. Udah jauh tapi dikasihnya cuma Rp 10 ribu, kan rugi kita mas, buat ongkos balik ke SCBD aja cuma dapet lebihnya dua ribu," tuturnya.
Tak masalah
Berbeda dengan Maryati dan Anthoni, Andre (16) tidak mempermasalahkan jika "three in one" ini akan dihapus. Karena menjadi joki hanya untuk mencari tambahan untuk uang jajan saja bagi dirinya.
Pria yang baru duduk di bangku kelas satu SMA di Petamburan ini, mengaku bahwa sebenarnya orang tuanya tidak mengetahui jika ia menjadi joki. Menurutnya jika orang tuanya tahu pasti akan dilarang.
"Awalnya diajak temen buat jadi joki. Pas udah kesiniin udah keenakan, soalnya lumayan dapetnya bisa buat jajan," ucapnya.
Ia mengaku hanya menjadi joki pada sore hari saja, karena pada pagi harinya ia harus sekolah. Dari hasil menjadi joki di sore hari, Andre bisa mengantongi uang sebanyak Rp 40 ribu rupiah.
Andre menceritakan dirinya belum pernah mendapat perlakuan buruk dari para pelanggan. Menurutnya selama ini pelanggan yang memakai jasanya ramah dan baik hati.
"Paling enak tuh kalau pelanggannya ibu-ibu. Duitnya dikasih lebih udah gitu kadang-kadang dikasih makan juga," tuturnya.