Hanya berkekuatan moral
Berkali-kali warga di kompleks perumahan saya didatangi calon pemimpin, mulai tingkat kepala desa, calon walikota, hingga calon anggota DPRD. Ada yang berjanji mengaspal jalan, menata taman, membangun posyandu, hingga mendirikan musala.
Namun saat terpilih, semua janji itu melayang. Pemberi janjinya lupa, bahkan untuk sekadar berkunjung menyapa.
Hal seperti itu kerap terjadi. Kesal karena berulang kali diingkari, warga pun sepakat untuk menagih janji di depan. Jadi saat ada calon pemimpin berkampanye minta dipilih, warga meminta agar janji dipenuhi dahulu sebelum pemilihan dilaksanakan.
Taktik itu rupanya cukup berhasil, walau tak sepenuhnya sukses. Ada seorang calon yang kemudian memberi bantuan untuk membangun posyandu.
Tentu ia tidak membangun semuanya, hanya memberi bantuan saja. Ada juga yang memberi perlengkapan untuk kegiatan remaja di kompleks sebelah. Yang lain menyumbang karpet untuk musala.
Lucunya, saat ternyata tidak menang dalam pemilihan, ada penyumbang yang menarik bantuan yang sudah diberikan tadi. Barang-barang itu diangkut oleh orang-orang suruhan. Alasannya, jagonya kalah karena warga mengingkari janji dengan tidak memilihnya.
Bagaimanapun, walau sudah “bayar di muka”, janji politik terbukti adalah sesuatu yang sulit ditagih. Soal ini, bakal calon gubernur DKI Jakarta, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan janji politik hanya memiliki kekuatan moral.
"Janji politik hanya berkekuatan moral dan tidak punya kekuatan hukum. Jadi, kalau digugat ke pengadilan pun akan susah dikabulkan pengadilan," kata Yusril di Kafe Phoenam, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
Pertanyaannya kemudian, mengapa politisi ingkar janji? Ada beberapa alasan. Salah satunya adalah karena terjadi perubahan antara saat ia mengucapkan janji dengan saat ia harus merealisasikannya.
Misalnya, dalam janji kampanye seorang calon presiden mengatakan tidak akan mengimpor beras kalau ia berkuasa. Semua kebutuhan beras akan diusahakan dari petani dalam negeri.
Namun setelah terpilih, ternyata produksi beras dalam negeri tak mencukupi. Terpaksalah ia mengimpor beras, melanggar janjinya.
Alasan kedua, barangkali pemimpin itu sudah berusaha menepati janjinya. Namun tidak berhasil karena banyak faktor luar yang terjadi.
Misalnya seorang calon pemimpin berjanji mengurangi angka kemiskinan. Ternyata saat berkuasa, terjadi krisis ekonomi, sehingga sulit mewujudkan janji itu.
Alasan lain, dan sayangnya ini yang banyak terjadi, seorang calon pemimpin memberi janji semata-mata hanya agar dia terpilih. Tujuannya hanya meraih simpati agar orang memilihnya.
Seringkali janji-janji itu tidak masuk akal. Misalnya menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta dalam waktu seminggu, seperti yang diungkapkan seorang bakal calon gubernur beberapa waktu lalu.