Bukankah penggusuran yang sering dicap tidak manusiawi itu tindakan “bunuh diri” dalam konteks Pilkada apalagi Ahok tidak didukung partai politik dan hanya mengandalkan kekuatan relawan?
Bukan saja bisa menurunkan popularitas, penggusuran bisa menurunkan elektabilitas Ahok yang sampai saat ini masih tinggi meski isu sensitif itu segera digoreng lawan-lawan politiknya, bahkan untuk senjata pamungkas dalam debat calon gubernur nanti.
Uniknya lagi, kalau tidak mau dikatakan anehnya lagi, bakal calon gubernur lainnya di sisi lain menjadikan lahan penggusuran yang dilakukan Ahok sebagai panggung untuk meraih simpatik, yakni dengan pasang badan sebagai pembela warga yang terkena penggusuran. Sangat kontras, bukan?
Satu menggusur pemukiman rakyat dan karenanya terkesan tidak berprikemanusiaan, satunya lagi justru tampil sebagai pembela kemanusiaan. “Demon” versus “Angel”. Ketika kedua hal yang saling bertentangan diametral diletakkan dalam konteks Pilkada DKI kelak, mestinya simpati pemilih berpaling pada si pembela daripada si penggusur.
Apakah Ahok demikian polosnya sehingga luput mempertimbangkan hal-hal strategis yang bisa menggerus popularitas maupun elektabilitasnya? Atau dia bersikap “nothing to lose”.
Tidak mungkin juga, sebab bukankah dia memilih jalur perseorangan dengan mengandalkan relawan itu juga merupakan strategi sekaligus ambisi untuk mempertahankan kekuasaannya?