Walaupun demikian, dia sadar sepenuhnya dirinya tinggal di lahan yang bukan miliknya. Dia hanya berharap pemerintah memberi dia dan para tetangganya yang senasib solusi yang lebih baik.
Keluarga Dedi memang tak sendirian. Ratusan keluarga lain di empat rukun tetangga di RW 04 Kelurahan Penjaringan ini harus segera pindah. Mereka terkena penertiban yang merupakan bagian dari program revitalisasi kawasan bahari. Rencana ini baru disosialisasikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Maret lalu.
Sejak sepuluh hari lalu, atau semenjak Surat Peringatan I disebarkan kepada warga, kawasan ini terus bergejolak. Warga tidak terima dengan keputusan pemerintah yang tiba-tiba menyuruh warga pindah.
Apalagi, kata Upi Yunita (37), salah satu wakil warga, pemerintah belum mempunyai konsep penataan yang jelas terkait kawasan itu.
"Kami sadar tinggal di tempat yang bukan hak kami, tetapi tidak begini caranya. Kami ingin kompensasi yang layak," kata Upi. Kompensasi yang ia maksud adalah tersedianya rumah susun yang layak sebagai tempat tinggal baru mereka.
Selain itu, Upi juga berharap pemerintah mau memberikan uang pengganti kepada warga.
Wisata dan tanggul
Camat Penjaringan Abdul Khalit menyampaikan, lahan yang ditempati warga itu adalah lahan milik PD Pasar Jaya. Lahan seluas lebih dari 3 hektar itu ditempati sedikitnya 680 warga. Ratusan orang lainnya adalah pengontrak yang bekerja di wilayah itu.
"Kami harus melaksanakan penertiban untuk merevitalisasi kawasan wisata bahari, sekaligus membuat tanggul penahan rob," kata Khalit.
Sore hari di kawasan Akuarium, Pasar Ikan, sekelompok warga masih berdiskusi tentang rencana bertahan dari penggusuran. Mereka duduk di selasar rumah yang belum dibongkar, sambil saling melempar canda bahwa tempat tinggalnya akan dihargai miliaran rupiah oleh pemerintah.
Di tengah canda itu, Lasmi Widianti (16), warga RT 012, pusing memikirkan masa depannya. Siswi Jurusan Otomotif SMK 56 Pluit ini baru saja mengikuti ujian nasional beberapa hari lalu. Kini, alih-alih mempersiapkan kuliah, ia harus mengikuti prioritas kedua orangtuanya untuk mencari hunian baru karena keluarganya tak mendapat jatah rusunawa.
Rumahnya sendiri telah rata dengan tanah, Senin sore. Dia bersama adik dan orangtuanya belum tahu harus tidur di mana malam itu. Sejumlah warga berencana membuat tenda di bekas rumah masing-masing sebagai bentuk protes.
Matahari beranjak tenggelam, saat sepenggal puisi WS Rendra terngiang di kepala. Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan.... (C06)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2016, di halaman 1 dengan judul "Rumah-rumah yang Terlindas Zaman".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.