Kesadaran warga menjaga lingkungan permukiman dan sungai kini juga makin menurun. Warga RW 009 di Kembangan, Pesanggrahan, misalnya, sudah tak ada yang membuang sampah ke sungai. Namun, budaya kerja bakti membersihkan kali sudah punah. ]Mereka kini lebih memilih membayar biaya angkut sampah sebesar Rp 10.000 per bulan.
”Kalau pendatang dan yang mengontrak tambah jarang yang peduli (dengan sungai). Kita, sih, ingin sungai jadi bening lagi. Sebagai warga pribumi sebenarnya tak mau kampung kami kotor. Tapi percuma di sini bersih, kalau di ujungnya sudah kotor dan banyak sampah,” kata Sadiri (60), warga RT 005 RW 009.
Warga merasakan banjir terbesar pada tahun 2007 yang merendam hingga atap rumah mereka. Sejak 2002, banjir selalu menjadi agenda tahunan sehingga warga sudah bersiap mengungsi dan mengamankan barang-barang mereka saat musim hujan tiba. Bahkan, saat hujan tak turun di kampung itu, air bawaan dari hujan di hulu sungai di Bogor kadang meluap dan membanjiri permukiman.
Dulu, kata Sadiri, sejauh mata memandang, pemandangan di seberang sungai adalah sawah-sawah. Saat ini, tanggul dibangun di seberang sungai untuk pembangunan apartemen.
Peradaban
Berkaca pada sejarah, hampir semua peradaban tinggi manusia dibangun di tepian sungai. Arkeolog Universitas Indonesia, Candrian Attahiyat, mengungkapkan, ditemukan kapak-kapak batu yang digunakan sebagai peralatan rumah tangga sehari-hari manusia pada masa prasejarah di bantaran Kali Ciliwung. Peninggalan prasejarah itu ditemukan di tepian kali di Condet, Jakarta Timur, dan Kalibata, Jakarta Selatan.
Menurut Candrian, sungai selalu menjadi perhatian utama hidup manusia. Bahkan, pada zaman kolonial, Pemerintah Belanda mengelola air dari mata air di Jawa Barat untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di Kota Batavia—kini kawasan Kota hingga Harmoni.
Seiring perkembangan kota, pengelolaan sungai dan sumber air lainnya makin diperlukan. Inilah yang sempat alpa dilakukan di Jakarta. Sekarang, semua warga menanggung akibatnya. Dalam setidaknya tiga dekade terakhir, boleh dibilang peradaban kota Jakarta di tepian sungai justru berangsur surut.
Ahli hidrologi IPB, Hidayat Pawitan, menyampaikan, beberapa kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, sungai tak lagi bisa dibiarkan hidup secara alami karena tekanan penduduk amat tinggi. Harus dibangun jaringan pengelolaan air yang baik antar-sungai dan waduk. Pengelolaan ini tak hanya bermanfaat untuk mengendalikan banjir, tetapi juga mengendalikan penurunan permukaan tanah.
Di Jakarta, selain Krukut, Pesanggrahan, dan Ciliwung, setidaknya 10 sungai lain butuh segera direvitalisasi. Mengembalikan marwah Jakarta sebagai kota sungai nan cantik, unik, dan berkelanjutan bukanlah khayalan semu. Upaya pembenahan sungai yang cukup masif dilakukan dalam lima tahun terakhir bisa menjadi awal mengembalikannya sebagai kota yang beradab.
Apalagi jika kehidupan warga bantaran kali, seperti pasangan Atmo dan Rus, juga Amih dan kampungnya, ditata dan dibina menjadi lebih sehat dan manusiawi.
(MDN/HLN/C06/C07)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 April 2016, di halaman 25 dengan judul "Memimpikan Kali Sumber Kehidupan".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.