Di mana ada kota dengan begitu banyak sungai? Bisa jadi Jakarta adalah salah satunya di dunia. Sayang, di Ibu Kota ini, warga lebih mengenal kali sebagai tempat hunian padat dan kumuh di tepiannya, juga tempat buang sampah dan aneka limbah. Saat hujan tiba, sungai pun meluap dan memicu banjir.
Di tepi Sungai Pesanggrahan, Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat, Kamis (21/4), anak-anak sedang bermain pancingan dengan kayu. Tak lama, dari kejauhan, ibu mereka menyuruh pulang dan melarang mereka mendekati sungai.
”Aldi, ayo pulang! Jangan main ke tengah sungai. Ntar hanyut,” seru si ibu.
Bekas warna kecoklatan dan sampah yang menyangkut di dahan pohon menandakan ketinggian banjir yang terjadi pada malam sebelumnya. Permukaan air naik sekitar 1 meter dari ketinggian normalnya. Padahal, batas tepi sungai itu hanya berjarak tak lebih dari 1 meter dari halaman rumah-rumah.
Di kelurahan ini, tepatnya di lima rukun tetangga (RT) di RW 009, hanya ada empat rumah yang menghadap ke sungai. Puluhan rumah permanen lainnya membelakangi kali.
Rumah-rumah yang masih menghadap kali itu dihuni warga Betawi yang telah turun-temurun hidup di kawasan itu. Tak heran, RW 009 acap disebut Kampung Pesanggrahan.
Amih (60), salah satu warga RT 005 RW 009, sengaja mempertahankan rumahnya menghadap ke sungai. Ia menganggap sungai bagian dari halaman dan pusat kegiatan, seperti mencuci pakaian, memancing, dan bersantai.
”Melihat pemandangan kali dan mendengar suara (air) juga menenangkan. Mandi juga di kali. Kalau dulu orang sini pasti bisa berenang karena latihannya di sungai. Kalau anak sekarang, boro-boro latihan, malah hanyut sama alergi,” katanya.
Bagi sebagian warga, sungai itu kini menjadi area yang mereka hindari. Selain bisa mengancam hidup anak-anak mereka karena arusnya yang deras, kondisi sungai juga sudah terlampau keruh dan identik dengan sampah bawaan, hingga bau limbah menyengat.
”Ya, dulu, bangun pagi melihat sungai indah dan adem. Sekarang pagi-pagi bawaannya puyeng. Kalau lagi musim panas, air bisa biru, merah, hitam. Belum lagi banjir. Kalau rumah baru pasti dibangun membelakangi sungai,” tambah Amih.
Sedikit kenangan indah akan sungai bersih juga melekat di benak suami-istri Atmo (78) dan Rus (69). Keduanya tinggal di rumah ukuran 4 x 3 meter di RT 010 RW 005 Kelurahan Pela Mampang, Jakarta Selatan, tepat di tepi Kali Krukut.
Menurut Atmo, saat pertama kali pindah dari Solo, Jawa Tengah, ke Jakarta, tahun 1970, ia langsung tinggal di rumahnya itu. ”Ada lahan kosong milik teman, saya dipersilakan mendirikan rumah di sana,” ujarnya.
Ia memilih membangun rumah di bantaran sungai karena bisa mandi, cuci, dan kakus di kali. Kala itu, Krukut masih bening, berarus tenang, dan aman digunakan warga. ”Warga di bantaran sungai saat itu membakar sampah mereka. Tidak dibuang ke kali,” ujar Atmo.
Berdasarkan sisa ingatannya, sungai mulai kotor pada periode 1980-an, seiring banyaknya warga pendatang yang membangun rumah di Pela Mampang dan Petogogan, tak jauh dari situ. Semakin padatnya permukiman membuat perilaku warga terhadap kali makin sulit dikendalikan.
Ikatan pudar