JAKARTA, KOMPAS.com - Pada April lalu, Setara Institute mengukur tingkat toleransi siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung Raya.
Survei yang dilakukan terhadap 760 siswa ini, menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki sikap toleransi.
Hasil survei menunjukkan, 61 persen siswa memiliki sikap toleransi, 35,7 persen intoleran pasif atau puritan, 2,4 persen intoleran aktif atau radikal, dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa hasil survei ini terbilang baik karena hanya 0,3 persen atau sebanyak tiga orang yang berpotensi menjadi teroris.
"Dilihat hasil akhirnya, kami relatif cukup optimis. Kami tidak bisa mengklaim ini representatif tapi ini cerminan bahwa ada tantangan untuk terus meningkatkan pemahaman toleransi di sekolah," ujar Bonar di Cikini, Selasa (24/5/2016).
Sikap toleransi juga ditunjukkan dengan 81 persen siswa menolak adanya organisasi agama yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, 85,2 persen siswa menolak adanya pelarangan pendirian rumah ibadah, 79,4 persen siswa menolak adanya pihak yang melakukan kekerasan dalam memperjuangan keyakinannya, dan 74,4 persen siswa menolak kelompok yang mengkafirkan agama lain.
Kendati demikian, menurut Bonar, dilihat dari dimensi ideologis, keyakinan siswa pada agama dinilai cukup mengkhawatirkan.
Sebab, 58 persen siswa memilih syariat Islam ditegakkan. Sistem syariat sendiri tidak sesuai dengan kehidupan bernegara dengan sistem demokrasi yang menjunjung pluralisme.
"Mereka memikirkan semua persoalan dunia akan selesai dengan sendirinya jika syariat Islam ditegakkan. Ada semacam idealisasi, romantisme, dan utopis agama akan mampu menjawab semua pertanyaan duniawi," kata Bonar.
Ia menyatakan bahwa kelompok pelajar yang disurvei, sejatinya masih dalam proses pembentukan presepsi dan labil.
Sikap toleransi dan beragama mereka, kata dia, masih bisa berubah tergantung dari faktor internal dan eksternal.
"Institusi pendidikan, orangtua, dan media, itu sangat vital. Dari situ siswa mendapat pengetahuan tentang agama," ujar dia.
Oleh karena itu, dari hasil penelitian ini, Setara memberikan rekomendasi bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama, dan Dinas-dinas Pendidikan di tiap wilayah untuk memberikan perhatian terhadap dinamika toleransi siswa.
Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan kurikulum dan buku referensi mendukung penuh toleransi.
Begitu juga dengan guru yang tidak menyesatkan siswa dengan pola pikir primordial dan etnosentris.
"Yang berpotensi menjadi teroris memang sedikit, tapi yang bersikap intoleran, yang puritan, atau punya pemikiran radikal, itu bisa mengarah ke terorisme juga nantinya," ujar Bonar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.