Ia menilai, pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang mestinya menjadi sarana untuk mengajarkan sikap toleransi pada siswa, menjadi tidak efektif karena guru menggunakan kitab suci sebagai pembenaran atas apa yang mereka ajarkan di sekolah.
(Baca juga: Dicari, Sosok Pejuang Kemanusiaan dan Toleransi)
Retno juga menyebutkan, saat ini bobot pelaran agama lebih besar dari bobot pendidikan kewarganegaraan hingga Indonesia kekurangan guru agama.
"Kita ini harusnya membangun toleransi. Kalau ada siswa yang berbeda pandangan jangan disalahkan. Biarkan bersikap terbuka, kalau salah baru diluruskan," katanya.
Mantan kepala sekolah SMAN 3 Jakarta ini tidak membenarkan paksaan praktik agama kepada siswa.
Jika ingin mengarahkan siswa untuk lebih beriman, menurut dia, para guru sedianya melakukan hal tersebut dengan cara promotif dan tidak mengkukuhkannya melalui aturan yang memaksa.
"Saya tertarik bahwa guru merupakan sumber belajar. Ini bisa jadi momentum bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendorong nilai kebangsaan terutama di sekolah publik," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.