Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masih Perlukah Keberadaan Ketua RT/RW?

Kompas.com - 31/05/2016, 09:52 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama belakangan berbeda pendapat dengan sejumlah Ketua RT/RW yang ada di Jakarta. Perbedaan pendapat itu terkait penolakan dari para Ketua RT/RW terhadap kewajiban melaporkan masalah yang ada di wilayahnya, minimal tiga kali sehari via Qlue.

Qlue adalah aplikasi pengaduan yang dikelola Jakarta Smart City. Lewat aplikasi ini, masyarakat dapat melaporkan berbagai masalah yang ada di lokasi tempat ia tinggal, mulai dari got mampet, jalan rusak, maupun sampah yang menumpuk.

Sebenarnya, tanpa perantara Ketua RT/RW, masyarakat dapat melaporkan sendiri masalah di wilayahnya. Namun, Ahok (sapaan Basuki) menyatakan, kewajiban Ketua RT/RW melaporkan masalah via Qlue merupakan bagian dari upaya transparansi.

Sebab, ia tidak mungkin memberikan uang operasional kepada RT/RW begitu saja tanpa adanya bukti digunakan untuk apa uang tersebut.

Oleh karena itu, Ahok menyatakan, laporan aduan masyarakat via Qlue merupakan bukti bahwa uang operasional yang dibayarkan ke ketua RT/RW digunakan untuk hal tersebut.

"Sekarang logika begini aja, mereka mau masuk penjara apa enggak? Kalau kami terima uang APBD itu ada pertanggungjawaban enggak?"

"Sekarang ini pertanggungjawabannya uang operasional itu ngarang-ngarang enggak? Bikin kuitansi aja hati-hati ini," kata dia di Balai Kota, Senin (30/5/2016).

Saat ini, besaran uang intensif yang diterima Ketua RT/RW setiap bulannya berjumlah Rp 900.000 untuk Ketua RT, dan Rp 1,2 Juta untuk Ketua RW.

"Apa sih susahnya (melaporkan) cuma tiga kali sehari? Kalau kamu enggak sempat mesti begituan, ya jangan jadi RT/RW, Bos," ujar Ahok.

Kompas.com/Kurnia Sari Aziza Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat mendorong kursi roda di trotoar RSCM, Jakarta Pusat, Sabtu (28/5/2016).
Ahok menilai, jabatan ketua RT/RW sudah tidak lagi sama seperti dulu. Ia menyebut, dulu ketua RT/RW punya banyak kewenangan terkait penerbitan izin sejumlah dokumen. Hal itu tidak berlaku sekarang.

"Kalau dulu RT/RW berkuasa sekali. Mau nyambung (perpanjang) KTP mesti rekomendasi. Mau domisili semua. Sekarang enggak perlu lagi," kata mantan anggota Komisi II DPR RI ini.

Dalam peraturan lama, proses pengajuan KTP memang membutuhkan rekomendasi dari ketua RT/RW. Saat itu, pembuatan KTP belum berbasis pada data elektronik.

Menurut Ahok, dihapuskannya kewenangan penerbitan izin sejumlah dokumen merupakan bagian dari ease of doing business dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.

Sebab, kata Ahok, diwajibkannya warga untuk mendapatkan surat rekomendasi dari ketua RT/RW sebenarnya hanya mempersulit karena sering kali ketua RT/RW tak berada di tempat.

Ahok kemudian menceritakan pengalaman tak mengenakkan berurusan dengan ketua RT/RW.

"Waktu saya mau nyambung KTP, minta surat pengantar dari RT/RW sampai pagi-pagi dia belum bangun saya sudah harus kerja. Saya pulang ke rumah sudah kemalaman, dia lagi makan malam enggak mau terima," cerita Ahok.

"Akhirnya, suruh Hansip buat ngurusin surat-surat itu. Kasih siapa duit? Ke Hansip. Itu jadi jaringan pungli akhirnya tanpa kita sadari," kata dia.

Menurut Ahok, RT/RW adalah sistem yang dibentuk saat masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sistem itu kemudian dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru.

Ia berujar pemanfaatan RT/RW oleh Jepang dan Orde Baru memiliki kesamaan, yakni untuk mengawasi masyarakat.

Kompas.com/Alsadad Rudi Suasana di ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Kantor Lurah Kartini yang berlokasi di Jalan VIII Dalam, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Selasa (26/1/2016)
"Jepang dulu ngawasin siapa keluar masuk. Orde Baru, dimanfaatkan lagi. (Ketua RT/RW) dikuasai sampai jaringan Golkar dulu untuk mengontrol warga," ujar Ahok.

Meski demikian, Ahok menolak jika dianggap ingin menghapus RT/RW. Ia hanya ingin agar para ketua RT/RW mengubah pandangannya. Sebab, ia menilai, masih banyak ketua RT/RW yang memanfaatkan posisinya untuk meraup keuntungan pribadi dengan cara-cara yang tidak baik.

"Mereka ada harusnya melayani, bukan buat berkuasa, apalagi malakin orang," kata Ahok.

Tidak hanya itu, Ahok juga mengimbau ketua RT/RW yang sibuk dan tak sempat melayani warga untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

"Kalau pulang kerja malam, jangan jadi RT, Bos. Kasih saja istri atau anak kamu. Kan kita juga butuh ada orang yang memperhatikan warganya," ucapnya.

Kompas TV Polemik Pelaporan RT/RW (Bag 2)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Warga Jakarta yang NIK-nya Dinonaktifkan Tak Bisa Pakai BPJS Kesehatan

Megapolitan
Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang 'Pelanggannya' di Kali Bekasi

Perempuan yang Ditemukan Tewas di Pulau Pari Dibuang "Pelanggannya" di Kali Bekasi

Megapolitan
Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Penemuan Mayat Perempuan di Cikarang, Saksi: Mau Ambil Sampah Ada Koper Mencurigakan

Megapolitan
Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Pembunuh Wanita di Pulau Pari Sempat Minta Tolong untuk Gotong Kardus AC

Megapolitan
Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Sedang Berpatroli, Polisi Gagalkan Aksi Pencurian Sepeda Motor di Tambora

Megapolitan
Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Terdengar Gemuruh Mirip Ledakan Bom Saat Petir Sambar 2 Anggota TNI di Cilangkap

Megapolitan
Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Beredar Video Sopir Truk Dimintai Rp 200.000 Saat Lewat Jalan Kapuk Muara, Polisi Tindak Lanjuti

Megapolitan
Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Maju Pilkada Bogor 2024, Jenal Mutaqin Ingin Tuntaskan Keluhan Masyarakat

Megapolitan
Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Kemendagri Nonaktifkan 40.000 NIK Warga Jakarta yang Sudah Wafat

Megapolitan
Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Mayat dalam Koper yang Ditemukan di Cikarang Berjenis Kelamin Perempuan

Megapolitan
Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Pembunuh Perempuan di Pulau Pari Mengaku Menyesal

Megapolitan
Disdukcapil DKI Bakal Pakai 'SMS Blast' untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Disdukcapil DKI Bakal Pakai "SMS Blast" untuk Ingatkan Warga Terdampak Penonaktifan NIK

Megapolitan
Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Sesosok Mayat Ditemukan di Dalam Koper Hitam di Cikarang Bekasi

Megapolitan
Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Warga Rusunawa Muara Baru Keluhkan Biaya Sewa yang Naik

Megapolitan
8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

8.112 NIK di Jaksel Telah Diusulkan ke Kemendagri untuk Dinonaktifkan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com