PENGETAHUAN mengenai pentingnya menjaga sungai dirawat selama berpuluh-puluh tahun oleh sebagian warga Betawi yang tinggal di Jakarta. Namun, masifnya pembangunan dan minimnya kesadaran sebagian warga lain telah meruntuhkan pesan kelestarian tersebut.
Nanang Supriyadi (43), warga Betawi yang tinggal di dekat Kali Buaran, Kampung Warudoyong, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, menyadari pentingnya merawat sungai karena dapat menjadi sumber kehidupan sekaligus sumber petaka. ”Dari dulu kami sekeluarga tak mau buang sampah di sungai. Kami tahu nanti itu bikin kotor dan banjir,” ujar Nanang, yang juga Ketua RT 011 RW 008 Kelurahan Jatinegara, Rabu (1/6), di Jakarta.
Nanang mengungkapkan, semasa dia kecil, air Kali Buaran tak hanya mengairi sawah milik orangtuanya, tetapi bahkan bisa diminum. Hingga sebelum tahun 1990, dia dan keluarganya masih menjadi petani. Dia juga kerap mandi dan berenang di sungai itu.
Dari Kali Buaran pula, ia dan keluarganya memperoleh air bersih hingga era 1990-an. Sistem drainase rumah Betawi yang memakai empang sebagai penampungan air kotor membuat limbah rumah tangga mereka tidak pernah mengotori kali.
Memasuki tahun 1993, kata Nanang, areal persawahan di sekitar rumahnya mulai hilang, terutama sejak dibangun jalan layang yang menghubungkan Jalan Radjiman dengan Jalan Radin Inten II. Pembangunan jalan itu menghubungkan area Duren Sawit dan Pulogadung.
Areal persawahan di sekitar rumah Nanang pun berganti dengan permukiman. Oleh karena dekat dengan area industri Pulogadung, hunian di Kampung Warudoyong kini makin padat. Rumah semipermanen pun tumbuh di bantaran Kali Buaran. Sejak itu pula, wajah sungai itu menjadi kotor dan berwarna gelap.
Tanah milik sungai
Dengan permukiman yang semakin padat seperti sekarang, lanjut Nanang, dirinya dan sebagian besar kerabatnya di Kampung Warudoyong menggunakan septic tank sebagai tempat penampungan limbah rumah tangga.
Pengetahuan mengenai pentingnya menjaga sungai juga dirawat baik oleh Rokib (56), warga asli Betawi di dekat Kali Jati Kramat, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dia tak pernah tergoda memperluas rumahnya hingga mendekati bibir sungai itu.
Menurut dia, lahan di belakang rumah adalah tanah milik sungai. Kesadaran itu dijaga turun-temurun oleh Rokib dan sejumlah warga Betawi lain untuk menghormati sungai. ”Ini ada batas nih, beton pas di belakang rumah saya. Itu batas tanahnya kali,” ujar Rokib sambil menunjuk cor beton pembatas area Kali Jati Kramat di belakang rumahnya pada 19 Mei lalu.
Rokib mengungkapkan, bentuk Kali Jati Kramat telah berganti rupa. Sungai itu aslinya berkelok-kelok dan tak terlampau lebar seperti sekarang. Hingga tahun 1990, lebar sungai itu hanya sekitar 3 meter.
Memasuki tahun 2000, alur Jati Kramat diluruskan, dikeruk, dan tebingnya diperkuat. Lebar alur sungai itu menjadi sekitar 5 meter dengan kedalaman lebih dari 3 meter.
Sebelum diluruskan, lanjut Rokib, lebar sempadan sungai mencapai 13 meter, tetapi kini tersisa 3 meter akibat tergerus erosi terus-menerus. ”Dulu tanah kakak saya ini jauh dari bibir kali. Namun, sekarang berada lebih dekat karena bantaran tergerus air kali,” ucapnya.
Semasa kecil, Rokib mengaku masih bisa meminum air kali itu. ”Kalau sekarang, kan, isinya sampah. Masuk ke dalam kalinya saja sudah males,” katanya lagi.
Selain Kali Buaran dan Jati Kramat, kualitas Kali Cakung di Jakarta Timur juga memburuk dari tahun ke tahun. Hal itu diungkapkan Abdul Hadi (80), warga Betawi, yang menjadi salah satu saksi sejarah Kali Cakung di Kelurahan Pulogebang, Jakarta Timur.