Namun, lebih daripada itu, jalur perseorangan yang di tempuh Ahok bersama Teman Ahok di pusat etalase politik Jakarta merupakan pembelajaran politik partisipatoris yang paling nyata untuk Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi legacy Ahok.
Pertama, seperti dikatakan Roosevelt di atas, pemilik demokrasi yang sesungguhnya adalah publik, bukan partai politik atau elit-elite politik.
Fenomena Teman Ahok adalah eksperimen partisipasi otentik publik di luar partai politik. Ia menjadi semacam pengingat bahwa masyarakat memiliki kekuatan untuk melakukan dekonstruksi atas ketidakpuasan mereka pada kinerja partai politik dan nilai-nilai buruk yang ada di dalamnya seperti korupsi, politik transaksional, dan setoran kiri kanan untuk berbagai urusan.
Selain itu, bukankah wajah sebagian partai politik kita umumnya menampilkan potret oligarki ketua umumnya ketimbang sebagai partai yang partisipatoris. Teman Ahok menjadi semacam kontrol nyata civil society atas praktik demokrasi oligarkis yang dijalankan para politisi itu.
Catatan lain, Teman Ahok adalah representasi generasi milienial atau kerap disebut generasi Y. Anak-anak muda berusia 17-35 tahun yang selama ini barangkali merasa teralienasi dalam hiruk pikuk politik di tanah air, mampu membuktikan diri menjadi sebuah kekuatan politik yang mumpuni.
Ini kelak menjadi warisan dan proses pembelajaran yang berharga dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Transaksional
Kedua, meminimalisir politik transaksional. Politik transaksional rasanya mustahil dilepaskan dalam praktik demokrasi di manapun. Politik selalu adalah soal kompromi.
Jokowi yang semasa kampanye pilpres mendengung-dengungkan “dukungan tanpa syarat” toh akhirnya harus terjerambab pada kompromi politik dalam penyusunan kabinetnya.
Secara pragmatis Jokowi tidak bisa melepaskan utang budi sejumlah partai politik yang mendukungnya. Tak ada makan siang gratis.
Calon perseorangan meminimalisir ruang utang budi. Ia seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih baik. Ini sama sekali tidak ingin menafikan peran partai politik di legislatif yang menjadi penyeimbang kekuasaan.
Justru eksperimen penting yang harus dibuktikan adalah bahwa calon perseorangan yang menang pilkada dituntut untuk dapat bermitra secara lebih sehat dengan partai politik di parlemen.
Ahok punya catatan buruk dalam relasinya dengan legislatif DKI Jakarta sepanjang periode kepemimpinannya yang galak. Tentu saja ini adalah pekerjaan rumah berikutnya yang harus diselesaikanya jika ia kelak memenangi pilkada dari jalur perseorangan.
Partisipasi politik
Ketiga, partisipasi politik civil society di luar relawan adalah sesuatu yang ril. Bisa jadi ini adalah bagian yang terberat.