Bagi Diding, kompor dan oven adalah bagian dari perjalanan hidupnya. Sejak usia 10 tahun, dia ikut membuat kompor di kampungnya di Desa Sukahati, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hingga saat ini, Diding masih memproduksi kompor dan oven di kampungnya. Oven-oven itu yang dia jual di Cawang.
Dari pembuat kompor, Diding mengembangkan kemampuannya sebagai pedagang dan memasarkan produk ke pedagang kompor di Cawang sekitar tahun 1997. Saat itu, kata Diding, sudah banyak kios penjual kompor di Cawang. Jumlahnya ada lebih dari 20 kios yang sekaligus digunakan sebagai bengkel pembuatan kompor, oven, dan panci.
Kios-kios itu tak hanya menjual kompor, tetapi juga panci, loyang kue, dan oven yang semuanya dari aluminium dan baja nirkarat. Belakangan, beberapa kios juga memproduksi dan menjual kubah masjid dari baja nirkarat. Pedagang dan perajin di kawasan itu datang dari berbagai daerah di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Generasi ketiga
Beberapa kios di Cawang Kompor berdiri sejak puluhan tahun. Salah satunya, toko peninggalan Entong Mursadi yang berukuran 3 meter x 8 meter persegi. Toko itu kini dijalankan Wil Saputra (58), menantu Entong Mursadi. Wil mengungkapkan, dia adalah generasi ketiga yang menjalankan usaha pembuatan kompor.
Mertuanya, Entong Mursadi, adalah generasi kedua yang membuat dan menjual kompor. Sebelumnya, tahun 1950, orangtua Entong Mursadi, yakni Engkong Said bin Suek, mendahuluinya dengan membuka bengkel pembuatan tapal kuda.
"Menurut cerita orangtua, Jalan Dewi Sartika ini sudah ada dari zaman dulu. Engkong Said sudah buka bengkel tapal kuda sejak 1950 di Cawang ini karena, zaman dahulu, orang Jakarta lebih sering memakai kuda sebagai alat transportasi," tutur Wil.
Kawasan Cawang Kompor, hingga tahun 1970-an, ramai karena menjadi tempat pemberhentian terakhir bus dari Bogor.
Saat kerusuhan pecah tahun 1998, Wil mengatakan, deretan kios penjual kompor di Cawang tak luput dari amuk massa. "Kios saya juga ikut dihancurin kacanya," kata Wil yang pensiunan tentara itu.
Cawang Kompor pun menggambarkan Jakarta.
"Karena semakin banyak orang datang ke Jakarta, permintaan kompor juga semakin banyak dan tak pernah surut," kata Wil.
Bahan baku pembuatan kompor pada masa itu, lanjut Wil, hanya menggunakan pelat besi baja bekas kereta yang diperoleh dari depo kereta Manggarai. Menurut Wil, besi bekas kereta memiliki kualitas bagus karena tahan panas dan kuat.
"Besinya tebal dan kuat. Untuk menopang kuali besar dan berat pun mampu. Makanya, banyak yang kembali membeli di Cawang Kompor," kata Wil.
Sejak pemerintah mencanangkan konversi minyak tanah ke gas pada 2004, Wil mulai kehilangan pelanggan kompor. Sebagai gantinya, dia melayani pemesanan pembuatan loyang kue, panci dandang untuk menanak nasi, panci besar, dan reparasi panci.
Saudara Wil, Usman (57), membuka bengkel dan penjualan oven tepat di sebelah toko milik Wil. Usman memilih menjadi produsen dan penjual oven.
Oven yang dijual berbahan bakar gas dan berukuran panjang hampir 1 meter, lebar sekitar 40 cm, dan tinggi sekitar 40 cm. Setiap unit oven gas itu dijual seharga hampir Rp 1,5 juta.
Menurut perajin di kios Usman, Suyono (50), oven gas itu sudah dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia, seperti Riau, Padang, bahkan Manado.
"Kami menggunakan besi pelat galvanis. Sangat kuat dan kokoh. Jadi, banyak perusahaan roti dan katering yang membeli oven ke kami," tuturnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juli 2016, di halaman 27 dengan judul "Kisah Awal Si Oven Pemanggang Kue".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.