JAKARTA, KOMPAS.com — Sudah sejak Februari 2016, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi dan Tata Ruang Wilayah Pesisir, Pantai Utara, dan Pulau-pulau Kecil siap untuk dibawa dalam rapat paripurna. Namun, hal itu batal karena jumlah anggota DPRD DKI yang hadir tidak kuorum.
Rabu (13/7/2016) kemarin, alasan rapat paripurna yang terus batal itu akhirnya terkuak. Hal itu terbongkar dalam persidangan bagi terdakwa Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dan asistennya, Trinanda Prihantoro, di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Diduga, raperda selalu batal karena uang suap dibagi tidak merata.
Dalam persidangan, Jaksa Ali Fikri sempat memutar rekaman percakapan salah satu saksi persidangan, yakni Manajer Perizinan Agung Sedayu Group, Saiful Zuhri alias Pupung, dengan anggota DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi, pada 17 Maret 2016.
Dalam percakapan tersebut, Pupung diduga menjanjikan pemberian uang kepada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta. Janji tersebut diucapkan agar anggota DPRD DKI Jakarta menghadiri rapat paripurna sehingga jumlah peserta rapat dapat memenuhi syarat pengambilan keputusan terkait rancangan peraturan daerah.
Namun, apabila jumlah peserta rapat paripurna tidak memenuhi syarat pengambilan keputusan, Pupung berencana melaporkan hal tersebut kepada pimpinannya, yakni Chairman Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan.
"Gini, Bang, jadi kalau misalnya nanti jam 14.00 lewat tidak ada apa-apa, saya lapor Bos (Aguan) supaya dia bisa tekan Pak Prasetyo lagi," kata Pupung kepada Sanusi dalam rekaman percakapan yang diperdengarkan di Pengadilan Tipikor.
Menurut Pupung, Sanusi mengatakan bahwa sejumlah anggota DPRD DKI merasa resah dan menyampaikan komplain terhadap dirinya. Sanusi sendiri merasa kesulitan mengarahkan para anggota DPRD karena tidak ditugaskan untuk mengatur agar para anggota Dewan menghadiri rapat.
Dalam rekaman pembicaraan selanjutnya, Sanusi mengatakan kepada Pupung bahwa Prasetyo Edi bertindak tidak adil dalam membagikan uang bagi anggota DPRD yang lain.
"Iya, itu kan sebenarnya ngebaginya benar-benar kacau balau deh dia (Prasetyo), makannya kebanyakan. Maksud gue, banyak banget bukan kebanyakan, ngerti enggak lo, kayak enggak ada tempat lain," kata Sanusi kepada Pupung dalam rekaman percakapan.
Mengingat kembali rapat paripurna yang gagal
Berdasar daftar absensi waktu itu, hanya 50 anggota DPRD yang tercatat akan menghadiri rapat paripurna. Sebanyak 56 anggota lainnya tidak tercatat akan hadir.
Mereka yang hadir berasal dari 17 anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 7 anggota Fraksi Partai Gerindra, 7 anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, 7 anggota Fraksi Partai Hanura, 8 anggota Fraksi Partai Golkar, 3 anggota Fraksi Partai Nasdem, dan 1 orang anggota Fraksi Partai Keadilan Bangsa.
Tidak ada anggota Fraksi Partai Demokrat-PAN serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tercatat akan menghadiri rapat paripurna itu. Sebagian dari mereka yang tidak hadir menulis "izin", sebagian lainnya tidak hadir tanpa keterangan.
Rapat paripurna berkali-kali dijadwalkan untuk digelar pada bulan-bulan selanjutnya. Namun, selalu dibatalkan dengan alasan tidak kuorum.
Padahal, biasanya rapat paripurna pengesahan raperda lainnya berlangsung lancar tanpa ada penundaan. Hanya raperda terkait reklamasi yang selalu batal digelar.
Ketua Fraksi Golkar di DPRD DKI Jakarta Zainuddin menilai proyek reklamasi tidak berpihak pada rakyat kecil. Hal inilah yang ingin disampaikan anggota Dewan lewat ketidakhadiran mereka dalam rapat paripurna pengesahan Perda Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-pulau Kecil, di Gedung DPRD DKI, Kamis (17/3/2016).
"Jadi reklamasi ini buat siapa dengan harga tanah yang begitu mahal. Sampai Rp 60 juta per meter lho. Ini buat siapa?" kata Zainuddin.
Selain itu, batalnya paripurna tersebut secara terus-menerus juga diduga akibat adanya perubahan salah satu pasal pada Raperda Tata Ruang Kawasan Stategis Pantai Utara Jakarta.
Anggota Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI dari Fraksi Golkar, Ramli, mengatakan, perubahan terjadi pada pasal yang mengatur mengenai kewajiban pengembang di lahan pulau reklamasi.
Jika pada draf sebelumnya dinyatakan bahwa kewajiban pengembang minimal 15 persen, maka pada draf terbaru kewajiban pengembang hanya 5 persen.
"Perubahan ini memberi celah untuk orang bermain," kata Ramli di Gedung DPRD DKI Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, anggota Balegda DPRD DKI Mohamad Sanusi pun ditangkap KPK atas kasus suap raperda reklamasi yang selalu batal itu.
Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja juga menjadi tersangka atas kasus yang sama.
Alasan DPRD DKI menolak reklamasi ternyata hanya basa-basi. Rekaman pembicaraan Sanusi di Pengadilan Tipikor mengungkap kebenarannya. Ternyata pembagian suap yang tak merata penyebabnya.