JAKARTA, KOMPAS.com - Carut marut pembangunan di Kemang, Jakarta Selatan, disebut sebagai penyebab utama banjir melanda kawasan itu Sabtu (27/8/2016) lalu. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengatakan, banjir terjadi karena lima rumah yang berdiri di badan Kali Krukut jebol dindingnya sehingga air dari kali pun meluber ke mana-mana di daerah itu.
Sementara itu, kawasan Kemang sendiri berupa dataran berbentuk seperti mangkuk. Ketika air masuk, air terjebak dan sulit surut. Ahok juga mengatakan, terlalu banyak bangunan yang berdiri di badan Kali Krukut di kawasan itu.
Dulunya, Kali Krukut memiliki lebar 20-25 meter. Namun kini hanya tersisa 5 meter saja, selebihnya dijadikan bangunan.
"Sekarang Kemang sudah minta ampun. Hotel segala macam itu peruntukannya enggak boleh (di situ), baca saja kajian tahun 1960-an," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Senin (29/8/2016).
Kontrur fisik yang rendah dan datarannya yang dialiri Kali Krukut membuat Kemang menjadi rawan bencana. Kenyataan ini sebenarnya sudah disadari pemerintah melalui aturan yang mereka keluarkan.
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR-PZ) pasal 371 mengatur rencana kawasan yang diprioritaskan penanganannya, bahwa Kawasan Kemang dan Duren Tiga sebagai kawasan yang harus dikendalikan pertumbuhannya.
Artinya, Kemang dapat dibangun asalkan perencanaannya tetap memperhatikan kesediaan ruang terbuka hijau.
Dalam peta Zonasi 2014, Kecamatan Mampang Prapatan, Jalan Kemang Raya sendiri memang sebagian sudah berwarna ungu atau peruntukannya perkantoran, perdagangan, dan jasa. Di atasnya kini berdiri hotel, apartemen, dan gedung-gedung.
Pembangunan di lapangan dicocokkan dengan peta zonasi yang sudah ada. Yang sudah terlanjur berdiri namun tak sesuai zonasi, akan diputihkan.
"Tapi kan ada beberapa daerah yang bisa jadi ungu (komersil) buat usaha. Ada," kata Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi.
Pemutihan yang sama juga dilakukan sejak era pemerintahan terdahulu. Berdasarkan data Litbang Kompas seperti dikutip harian Kompas pada 20 Desember 2013, dalam artikel "RTRW Jakarta Dibuat untuk Dilanggar", penggunaan ruang di Jakarta sudah diatur dalam RTRW atau rencana tata ruang wilayah yang dikeluarkan tahun 1965.
Di dalamnya telah diatur bahwa pengembangan kota hanya dilakukan ke arah timur dan barat, mengurangi tekanan pembangunan di utara, dan membatasi pembangunan di selatan. Dalam RTRW 1965, pengembangan kawasan di Jakarta Selatan seharusnya dibatasi karena wilayah tersebut ditetapkan sebagai daerah resapan air.
Namun, pada 1983, areal terbangun di Jakarta Selatan masih 26 persen dari luas total. Dua puluh tahun berikutnya, kawasan terbangun meningkat menjadi 72 persen. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan proporsi daerah terbangun di Jakarta Timur.
Pembangunan di Kemang sendiri sudah menuai protes dari Ombudsman RI. Hasil investigasinya pada Mei 2016 menyebutkan 90 persen peruntukan bangunannya telah berubah menjadi tempat usaha.
Asisten Sekda Bidang Pembangunan DKI Jakarta, Gamal Sinurat pada waktu itu menjelaskan ke Ombudsman bahwa 10-15 tahun lalu, beberapa wilayah di Jakarta terjadi perubahan fungsi kegiatan yang bersifat masif. Salah satunya adalah Kemang.
Hingga tahun 2014, Pemprov DKI Jakarta mendalami permasalahan itu dengan melibatkan pakar, akademisi, masyarakat terdampak, serta stakeholder terkait.
"Hal yang menarik dari perda ini (Perda Nomor 1 Tahun 2014), dalam beberapa koridor tertentu seperti Kemang dan Duren Tiga tetap sebagai fungsi hunian. Namun memberikan kesempatan pada pemilik lahan untuk mengoptimalkan fungsi lahan, serta memanfaatkan sebagian lantai bangunannya maksimal 50 persen," kata Gamal di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (26/7/2016).
Kemang Village
Salah satu pembangunan yang menjadi sorotan dalam peristiwa banjir kemarin adalah Kemang Village. Ahok sempat menuding Kemang Village tak membangun tandon air. Ia kemudian membenarkan bahwa tandon itu ada namun tidak bisa menjadi solusi banjir di Kemang.
Sebab menurutnya, tandon Kemang Village memiliki keterbatasan jika dibandingkan dengan waduk. Ahok lantas mengatakan bahwa bagunan yang kini milik superblok Kemang Village seharusnya tidak ada dan bisa menjadi tanah serapan.
Izin pembangunan Kemang Village sendiri keluar pertama kali pada 2007. Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) Kemang Village diproses oleh Dinas Tata Ruang melalui mekanisme Rapat Pimpinan (Rapim) yang dipimpin langsung oleh Gubernur DKI Jakarta.
Adapun pada April 2007, gubernur yang tengah menjabat adalah Sutiyoso.
Corporate Water Planning LPKR Cornelia Retno mengatakan, retention pond atau tandon air yang dibangun oleh Kemang Village justru meringankan banjir akibat luapan Kali Krukut yang terjadi di Kemang itu.
"Kami berkali-kali konsultasi ke TPAK (tim penasihat arsitektur kota), secara konstruksi oke, harusnya Kemang Village malah jadi role model (panutan)," ujar Retno kepada Kompas.com, Senin (29/8/2016).
Menurut Retno, cara kerja tandon ini cukup sederhana. Jika Kali Krukut menyentuh ketinggian pintu air, maka alarm akan berbunyi dan pintu air dibuka. Air dari Kali Krukut lalu masuk dan ditampung di tandon air yang berada di bawah teras Kemang Village.
Setelah Kali Krukut surut, barulah air dari tandon dibuang kembali ke Kali Krukut untuk bisa menampung lagi jika dibutuhkan.
Saat Kali Krukut meluap pada Sabtu kemarin, Retno mengatakan, pihaknya membiarkan pintu air terbuka hingga ketinggian air Kali Krukut dan tandon sama.
Membereskan Kemang
Tak banyak yang bisa dilakukan untuk mengembalikan fungsi hijau Kemang. Izin dan kepemilikan sudah jelas tak bisa digugat Pemprov DKI Jakarta. Pemerintah pun kini akan melakukan audit lingkungan di kawasan Kemang, dengan menyisir ulang penerbitan izin usaha di sana.
Senin kemarin, Ahok langsung melakukan rapat bersama Dinas Tata Air dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). Dia sudah mengetahui cara menghadapi pengembang di Kemang yang mendirikan bangunan di badan sungai.
Dia akan mengajukan konsinyasi ke pengadilan. Konsinyasi merupakan penitipan uang kepada pengadilan. Ahok mengatakan dia mengacu kepada Undang-Undang Pengadaan Tanah.
Dalam UU tersebut, kata Ahok, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa beli "paksa" tanah warga dengan harga pasar.
"Kita punya Undang-Undang Pengadaan Tanah, kalau gua butuh beli tanah ini enggak bisa tempat lain lagi, saya minta kamu jual ke saya, harga pasar," kata Ahok.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.