“Sudah lama saya ingin tinggal di rumah susun.” Ibu Wiwid, penghuni rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Pulogebang, Jakarta Timur, itu memulai kisahnya.
Ia menerima kunci rumah di hari ketika ia mendaftar masuk rumah susun. Ketika ia melihat wujud rumah yang akan ditempatinya, ia terperangah “benarkah ini rumah saya?”
Ia bahkan mengatakan “mendapat rumah begini, saya seperti mendapat emas segede gunung. Terima kasih, ya Allah.”
Beberapa waktu yang lalu, saya mendatangi salah satu rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) di Jakarta. Saya mengunjungi yang terbesar.
Rumah susun Pulo Gebang, Jakarta Timur, dibangun sejak masa pemerintahan Fauzi Bowo, yakni blok A dan B. Sementara blok C sampai H dibangun pada masa gubernur Basuki Cahaya Purnama. Di rumah susun ini, bermukim warga dari pelbagai wilayah relokasi di Jakarta.
Sebelum pindah ke rumah susun, Ibu Wiwid tinggal di pasar. Ibu Wiwid mengenang penderitaannya. Di depan tempat tinggalnya adalah penjual ikan. Di samping kiri dan kanannya adalah penjual jagung dan sayuran lain.
“Dulu sering digigit tikus,” kenangnya.
Tempat yang ia sebut tempat tinggal itu adalah sebuah petak segi empat. Di situ ia berjualan. Di situ ia mencari nafkah. Dan di situ pula ia tinggal. Tentu saja illegal. Dan Ibu Wiwid menyadarinya.
Suatu ketika, Ibu Wiwid mengunjungi salah satu temannya, seseorang yang tinggal di rumah susun. Ia begitu kagum dengan rumah itu. Sejak saat itu, dia selalu berangan-angan untuk tinggal di rumah susun.
Mendapat jatah rumah susun dari pemerintah provinsi DKI Jakarta adalah berkah terbesar yang ia peroleh. Sejak pindah ke rumah susun, dia mengaku hampir tidak pernah melihat tikus.
Pengalaman serupa juga dirasakan Ibu Sri, warga Rusunawa pindahan dari Pluit. Anugerah terbesar yang ia syukuri adalah bahwa ia sekarang bisa hidup bersama dengan semua anaknya.
Di tempat lama, keluarga ini terpencar untuk menyiasati ruang yang sempit. Sebagian anaknya dititipkan pada familinya. Rumah susun mempersatukan keluarga ini.
Pada mulanya, warga masuk ke Rusun melalui mekanisme pendaftaran sukarela. Mereka berasal dari pemukiman-pemukiman sangat kumuh dan rawan banjir. Banyak warga yang tidak percaya bahwa mereka bisa mendapatkan rumah susun dengan begitu mudah.
Visi Perumahan
Dalam visi menghadirkan Jakarta yang baru, Gubernur Basuki Cahaya Purnama memang memberi perhatian ekstra pada sektor pemukiman warga.
Dalam kampanye pemilihan gubernur 2012, bersama Joko Widodo, Basuki berkali-kali menegaskan tentang pentingnya pemukiman yang layak bagi setiap warga Jakarta.
Dalam 10 tahun, warga DKI Jakarta membutuhkan sekitar 700 ribu rumah. Untuk memenuhi itu, dalam satu tahun, dibutuhkan setidaknya 70 ribu rumah.
Dari 40% atau 28 ribu unit rumah susun pertahun itu, 20% adalah rumah susun kategori mewah, 40% kategori menengah, dan 40% sisanya adalah rumah susun kategori bawah.
Untuk menyiasati kurangnya dana pemerintah provinsi, maka 60% total rumah susun yang hendak dibangun itu diserahkan pada badan usaha atau developer.
Sementara 40% rumah susun kelas bawah, pendanaannya dilakukan oleh dua pihak: sebanyak 3.360 unit rusun didanai pemerintah dan 7.840 unit lainnya didanai pihak lain, yakni badan usaha atau developer.
Membangun rumah untuk memenuhi kebutuhan adalah langkah awal bagi proyek perumahan secara umum.
Bila ada 40 ribu warga tidak punya rumah atau tinggal di pemukiman yang tidak layak, sekedar membangun 40 ribu rumah baru yang layak belum tentu menjadi solusi.
Pasalnya 40 ribu rumah baru tidak serta akan membuat yang tak memiliki rumah layak itu akan tinggal di sana. Ketersediaan atau availability rumah adalah satu hal, hal lain adalah akses.
Bila ada 40 ribu orang membutuhkan rumah, yang paling utama bukanlah membangun 40 ribu rumah, tapi bagaimana 40 ribu orang itu bisa tinggal di rumah.
Pembangunan rumah susun bersubsidi adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kebutuhan rumah di ibukota, khususnya pada mereka yang selama ini tidak memiliki akses pada rumah.
Persoalan perumahan di ibu kota dan Indonesia, secara lebih luas, bukan hanya tentang ketersediaan rumah baru, tapi juga kelayakan rumah-rumah lama.
Karena itu, yang perlu diperhatikan bukan hanya memenuhi kebutuhan rumah bagi mereka yang belum punya rumah, tapi juga merenovasi atau mengganti rumah-rumah lama yang tidak layak.
Subsidi Sampai Kapan?
Apa yang dilakukan Ahok dan jajarannya adalah ikhtiar penting yang perlu dilanjutkan. Kaum papa Jakarta tidak hanya diberi tempat tinggal yang nyaris gratis, tapi juga diberi layanan kesehatan dan pendidikan gratis, bahkan transportasi publik yang juga gratis.
Pertanyaan pentingnya adalah sampai kapan subsidi itu akan dilakukan? Sampai kapan anggaran negara yang sebagian besarnya berasal dari pajak warga akan dihabiskan untuk subsidi? Pertanyaan ini relevan karena anggaran negara tidak tak terbatas. Jawabannya tidak mudah.
Di rumah-rumah susun yang dibangun itu, kehidupan baru dimulai. Para penghuni beradaptasi. Negara, melalui pemerintah provinsi, membantu mempercepat adaptasi itu dengan menghadirkan pelbagai program pemberdayaan, mulai dari pelatihan tata boga, merias wajah, salon, bertani hidroponik, sampai memberi fasilitas dagang.
Pada dasarnya warga yang pindah atau dipindahkan ke rumah susun adalah para petarung kehidupan. Mereka telah lama dan terbiasa menghadapi masa-sama sulit.
Beberapa warga yang saya temui di rumah susun Pulo Gebang mengaku mengalami kendala adaptasi di tiga bulan pertama. Setelah itu, mereka mulai menemukan bahkan menciptakan dunia yang baru.
Lingkungan yang relatif lebih sehat, aman, dan lapang menjadi kondisi yang sangat baik bagi mereka untuk melakukan banyak inovasi dan kreativitas.
Rumah adalah tempat tinggal di mana masa depan dibangun. Pada rumah-rumah yang layak, generasi masa depan dilahirkan dan ditumbuhkan.
Rumah adalah tempat yang paling aman menghabiskan masa tua. Memberi rumah pada mereka yang papa adalah tindakan memutus siklus kemiskinan.
Generasi awal memang masih membutuhkan subsidi. Namun seiring dengan semakin membaiknya tingkat pendapatan mereka, subsidi perlahan-lahan akan ditinggalkan.
Mereka yang awalnya menjadi beban anggaran negara, perlahan-lahan akan menjadi tenaga-tenaga kerja produktif yang menyumbang pertumbuhan ekonomi.
Betapa tidak mudah menghadirkan rumah di ibu kota Jakarta. Ketika Ibu Wiwid, tokoh kita di awal cerita, menerima kunci rumah, ia menyimpannya baik-baik. Ia masih terus mengingat pesan dari petugas yang memberinya kunci, “rumahnya jangan ditinggal ya, bu.”
Cepat ia jawab, “ya, tidak akan saya tinggal.”
Sejak saat itu, Ibu Wiwid tidak pernah meninggalkan rumah susun. Ia ingin terus berada di dekat rumah impiannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.