JAKARTA, KOMPAS.com — Salah satu jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Sandhy Handika, mempersilakan jika ada yang ingin melaporkan dia dan timnya terkait dugaan pelanggaran kode etik.
Pelapor yang dimaksud sama dengan yang sebelumnya melaporkan majelis hakim persidangan tersebut ke Komisi Yudisial, yakni Aliansi Advokat Muda Indonesia (AAMI) serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI).
"Kalau laporan itu kan hak, hak mereka untuk melaporkan, saya hargai itu. Dalam sebuah laporan, tidak selalu juga ada temuan bahwa jaksa itu salah," kata Sandhy kepada Kompas.com usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016) malam.
Meski mengaku tidak masalah dilaporkan, Sandhy menilai, sebuah laporan seharusnya disampaikan secara obyektif. Sementara itu, dugaan pelanggaran kode etik yang dituduhkan kepada para JPU dianggap lebih sebagai tindakan asal lapor.
"Ini kan juga sudah terbuka untuk umum dan dipublikasikan secara live, jadi mereka harus tahu dinamika di persidangan. Bukan cuma asal lapor, melainkan memang harus dikaji dulu sebelum melapor," tutur Sandhy.
Dia juga yakin, timnya selama mengikuti sidang mengadili terdakwa kasus pembunuhan Mirna, Jessica Kumala Wongso, sudah melakukan tugas sesuai prosedur. Sandhy pun percaya tidak ada pelanggaran kode etik yang mereka lakukan selama ini.
AAMI dan PBHI berencana melaporkan JPU ke Komisi Kejaksaan dan penyidik kasus ini ke Direktorat Propam Mabes Polri pada Selasa (20/9/2016). (Baca: Pelapor Hakim Jessica Berencana Laporkan JPU dan Penyidik)
Menurut kedua pihak tersebut, salah satu hal yang akan dilaporkan adalah soal perilaku penuntut umum yang sempat berteriak dalam persidangan dan penyampaian pertanyaan yang tidak etis. Sementara itu, laporan bagi penyidik lebih pada masalah akuntabilitas penyidikan, seperti bagaimana upaya penyidik dalam mencari bukti kasus ini di Australia.