Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gara-gara Ahok, Pilkada DKI Berasa Pilpres...

Kompas.com - 24/09/2016, 14:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Pilkada DKI Jakarta menjadi fenomena baru dalam perpolitikan Tanah Air. Tokoh-tokoh kampiun nasional mengambil peran sangat sentral.

Lihat saja peran Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Keterlibatan para ketua umum memang diharuskan dalam UU Pilkada. Karena rekomendasi dari ketua umum diperlukan agar calon yang diusung tidak mengalami perbedaan pendapat antara pimpinan partai di tingkat lokal dengan pusat.

Selain itu, tidak bisa dipungkiri, tiga tokoh itu adalah politikus karismatik yang sangat berpengaruh di Tanah Air. Langkah-langkah mereka menjadi penentu arah politik Indonesia, setidaknya selama mereka masih hidup.

Terlebih, tiga partai itu dinilai sebagai partai yang masih menjual figur pemimpinnya. Keunggulannya, kesolidan partai di dalam pun sulit dipecah.

Karena itu, akan sangat menarik jika tiga tokoh itu "turun gunung" dan sibuk berperan di Pilkada DKI 2017. Kita tidak bisa menutup mata pengaruh dari tiga tokoh tersebut.

Benar kata SBY, Pilkada DKI 2017 ini pilkada rasa pilpres. Tidak salah pernyataan SBY tersebut.

Setidaknya, hal ini terlihat dari peranan Megawati, SBY, dan Prabowo dalam pilkada ini. Bukan tidak mungkin Presiden Joko Widodo juga ikut berperan, meski tidak secara langsung.

KOMPAS.COM/ANDREAS LUKAS ALTOBELI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tersenyum saat dipakaikan jas berwarna merah oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri di KPU DKI Jakarta, Rabu (21/9/2016).

Langkah Megawati pemantiknya

Peran Megawati sangat kuat ketika mendaftarkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat di KPU DKI. Padahal, Ahok diusung juga oleh tiga parpol lain, Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.

Dari tiga parpol lain yang mengusung Ahok, tidak ada satu pun batang hidung ketua umumnya yang dampingi Ahok mendaftar. Hanya Megawati.

Tak cukup sampai di situ, saat mengantarkan Ahok ke KPU DKI, Megawati mempersilakan Ahok semobil dan duduk di sampingnya. Sementara Djarot, duduk di kursi depan. Jelas sekali Megawati menunjukkan arti penting Pilkada DKI 2017.

Sehari sesudah Megawati mengantarkan Ahok ke KPU DKI, SBY pun bereaksi. Ia tak ingin diam menyikapi peran Megawati yang sangat sentral dalam mengusung Ahok.

SBY kemudian menyiapkan jurusnya, sang putra mahkota, Agus Harimurti Yudhoyono dan dipasangkan dengan birokrat Pemprov DKI, Sylviana Murni. Pilihan ini pun didukung PPP, PKB, dan PAN.

Keputusan SBY untuk menarik Agus yang saat ini masih aktif di infanteri TNI AD dengan pangkat mayor cukup riskan. Apalagi, Agus masih hijau untuk masuk dalam perpolitikan, pun pemerintahan. Tak hanya itu, dengan maju di Pilkada DKI, Agus diharuskan mundur dari militer.

Karena itu, langkah SBY disebut-sebut juga mematikan karier militer Agus yang cemerlang dan memiliki kemungkinan menjadi seorang jendral. Sebagai informasi, Agus memiliki tradisi keluarga tentara,  sebut saja SBY yang memiliki bintang tiga di pundaknya sebelum terjun ke politik. Di generasi sebelumnya ada kakek Agus, Letjen (purn) Sarwo Edhie Wibowo, dan paman Agus, Jendral (purn) Pramono Edhie Wibowo.

Soekarno dulu pernah berkata, "Dalam revolusi, bapak makan anak adalah hal yang lumrah". Mungkin saja SBY sedang melakukan revolusi terhadap Agus, atau justru sebaliknya, entahlah.

Keputusan SBY yang diumumkan tengah malam (22/9/2016) ini memang cukup menarik perhatian, karena SBY dikenal sebagai karakter yang penuh kalkulasi dan pertimbangan. Agus selama ini disebut-sebut sudah diproyeksikan SBY untuk menjadi presiden. Langkah Agus di Jakarta akan menjadi stepping stone mendekatkan dirinya menuju Istana.

Prabowo juga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia paham betul dinamika politik nasional yang kini dikuasai kubu Megawati.

Prabowo tidak ingin Jakarta kembali dikuasai Banteng, terlebih Ahok sebelumnya adalah kader Partai Gerindra yang akhirnya memutuskan keluar karena tidak setuju dengan keputusan partai yang ingin pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD ketika itu.

Langkah Prabowo terlihat hati-hati, bahkan ketika dirinya diminta ke Cikeas, ia menolak calon yang diusung koalisi di Cikeas itu yang diketahui mengusung Agus.

Prabowo pun mengerti, Agus yang menjadi putra mahkota SBY kemungkinan diproyeksikan juga sebagai calon presiden nantinya. Ini tentu situasi yang kurang baik bagi diri dan partainya.

Langkah Gerindra untuk mengajukan calonnya memang alot, lobi belasan jam hingga berganti hari. Sandiaga Uno yang sebelumnya dipastikan akan diusung Gerindra belum menemui kepastian dengan siapa ia akan maju.

Belakangan, nama Anies Baswedan muncul dan menjadi calon gubernur dari Partai Gerindra dan PKS. Sandiaga yang selama delapan bulan menyosialisasikan dirinya sebagai bakal calon gubernur harus puas dengan posisi calon wakil gubernur dengan keputusan yang diambil pada Jumat (23/9/2016).

Mungkin situasi akan bertambah pelik jika saja Megawati mendaftarkan Ahok-Djarot di hari terakhir, 23 September 2016, bukan saat hari pertama pendaftaran (21/9/2016). Lobi-lobi kilat yang kalang kabut bisa saja terjadi, atau jika deadlock bisa saja Ahok-Djarot jadi calon tunggal.

KOMPAs.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni saat mendaftar di KPU DKI Jakarta, Jumat (23/9/2016). Agus dan Sylviana resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan bakal cagub dan cawagub Pilkada DKI Jakarta, setelah diusung oleh empat partai yakni Demokrat, PKB, PPP, PAN.

Magnet Ahok

Nama Ahok yang membuat para tokoh kampiun itu ambil peran tak bisa dipungkiri adalah penyebabnya. Ahok sejauh ini dinilai tidak memiliki lawan yang kuat di Pilkada DKI 2017. Karena itu, para tokoh tadi pun putar otak, termasuk Megawati yang belakangan mengusung Ahok.

PDI-P pun mengalami dinamika yang luar biasa sebelum memutuskan mengusung Ahok. Sempat ada gejolak di internal mereka, meski pada akhirnya mengaku solid dukung Ahok.

Lantaran Ahok diusung Megawati, sumbu pun tersulut hingga membuat SBY dan Prabowo ikut dalam pertandingan. Memang, dukungan Megawati ini membangkitkan romantisme persaingan di pilpres.

Perlu diingat, Ahok sebenarnya sudah kuat dengan maju melalui jalur perseorangan karena persyaratannya sudah mencukupi. Meski akhirnya, Ahok memilih maju melalui jalur parpol dengan dukungan dari Partai Golkar, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Pilihan PDI-P yang belakangan mendukung Ahok inilah yang membuat tokoh-tokoh yang tidak mendukung Ahok langsung bereaksi.

Sumbu yang tersulut itulah yang membuat SBY dan Prabowo turun gunung. Panggung pilkada semakin terlihat layaknya pilpres.

Facebook Prabowo Subianto Prabowo Subianto bersama calon gubernur DKI Anies Baswedan dan calon wakil gubernur DKI Sandiaga Uno.

Rasa Pilpres

Pilpres 2019 memang masih empat tahun lagi, namun waktu itu akan cukup untuk mematangkan calon agar mumpuni maju di kancah nasional. Salah satunya adalah dengan menjadikan Jakarta sebagai laboratorium politik menuju Istana. Setidaknya Presiden Joko Widodo membuktikan keberhasilan itu

Jakarta adalah kunci! Tidak berlebihan, karena di sinilah pusat kekuasaan berada. Pusat perhatian media, dan konsentrasi masyarakat. Apa yang terjadi di Jakarta langsung tersebar di seantero nusantara.

Karena itu, penguasa Jakarta akan sangat vital ditempati. Jika bukan sebagai batu loncatan, ya sebagai eksistensi pengaruh perpolitikan nasional.

Selain itu, Ahok juga berulang kali menyebut dirinya ingin menjadi orang nomor satu di Tanah Air lantaran banyak orang yang meremehkan dirinya. Ahok pun menilai dirinya cocok mendampingi Jokowi di pilpres.

Menarik melihat para tokoh senior skala nasional turun gunung untuk memperhatikan Jakarta. Nama "Khusus" yang disandang propinsi kita memang benar-benar dapat perlakuan spesial dari tokoh-tokoh tersebut.

Namun, Jakarta butuh konsistensi kebijakan, butuh keberlanjutan kepemimpinan, tidak bisa bongkar pasang kebijakan dalam jangka pendek. Pergantian pucuk pimpinan di Jakarta di tengah jalan dikhawatirkan mengganggu konsistensi tersebut.

Selain itu, kita bisa saja tertawa melihat betapa perpolitikan kita dipegang secara oligarki. Tiga pucuk pimpinan itu memang bagai memiliki poros tersendiri. Poros Megawati, poros SBY, dan poros Prabowo. Apa yang terjadi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kepentingan mereka.

Kembali ke Jakarta. Tiga pasangan calon sudah mendaftar, tidak tertutup kemungkinan saat kampanye nanti pengaruh tiga politikus senior itu kembali terlihat.

Kita nikmati saja panggung yang ada, dengan pilihan yang logis dan sesuai, silakan memreteli apa yang akan dilakukan pasangan calon itu untuk Jakarta, bukan sebatas mengalahkan sang petahana...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dinas SDA DKI Sebut Proyek Polder di Tanjung Barat Akan Selesai pada Mei 2024

Dinas SDA DKI Sebut Proyek Polder di Tanjung Barat Akan Selesai pada Mei 2024

Megapolitan
Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Megapolitan
Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Megapolitan
Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Megapolitan
PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

Megapolitan
PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

Megapolitan
Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan 'Pelanggannya' dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan "Pelanggannya" dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Megapolitan
KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

KPU Jaktim Buka Pendaftarab PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

Megapolitan
NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Megapolitan
Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Megapolitan
“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com