Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Kampung Deret di Cilincing yang Dibangun pada Era Joko Widodo

Kompas.com - 04/10/2016, 20:32 WIB
David Oliver Purba

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Penertiban di sejumlah wilayah yang dilakukan Pemprov DKI sering menjadi polemik di masyarakat. Pemprov beralasan, penertiban dilakukan karena warga membangun permukiman di lahan yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI atau berada di zona hijau.

Para warga yang terdampak penertiban dipindahkan ke rumah susun sewa sederhana yang sering kali berlokasi cukup jauh dari tempat mereka bekerja. Sejumlah pihak menilai, penertiban serta memindahkan warga ke rusunawa bukanlah solusi.

Namun, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tetap bersikukuh untuk merelokasi mereka yang menurutnya melanggar aturan. Di RT 12/RW 04 Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara, sebuah kampung nelayan yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan kampung deret dibangun.

Sebanyak lebih kurang 400 kepala keluarga tinggal di 350 bangunan di kawasan tersebut. Kampung deret ini dibangun pada saat Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Gubernur DKI.

Dulunya, permukiman ini kumuh, tak tertata. Jarak satu rumah ke rumah lain sangat sempit. Bahkan, jalan hanya bisa dilalui dua orang, itu pun dengan jarak yang sangat pas-pasan. Rumah warga juga dibangun menggunakan tripleks dan kayu.

Bagi warga yang memiliki uang lebih, rumahnya dibangun setengah beton dan setengah kayu. Belum lagi warga yang membangun rumah di kawasan tersebut tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah.

Berubah

Namun, wajah kampung tersebut kini telah jauh berubah. Seluruh permukiman telah tertata rapi. Jalan juga telah diperluas. Bahkan, semua warga diberi uang untuk merenovasi rumahnya sehingga menjadi layak huni. Ketua RT 12, Wahid, menjelaskan, warga RT 12 sangat menghargai pembangunan kampung deret serta pendekatan yang dilakukan Jokowi.

Menurut Wahid, apa yang dilakukan Jokowi dengan membangun kampung deret lebih manusiawi dibanding harus menggusur dan memindahkan mereka ke rusunawa.

"Saya lebih senang kampung deret dibanding di rusun. Di sana harus bayar, lapangan pekerjaan enggak ada, jauh, kami kan nelayan harus dekat dengan laut," ujar Wahid saat ditemui Kompas.com di kampung deret, Selasa (4/10/2016).

Wahid menceritakan, proses mengubah kampung nelayan menjadi kampung deret bukanlah perkara gampang. Di awal pengajuan program tersebut, lebih dari setengah warga menolak program itu. Mereka takut kalau program tersebut hanya akal-akal Pemprov DKI untuk memindahkan mereka dari tempat tinggal yang telah mereka diami selama puluhan tahun.

Kompas.com/David Oliver Purba Kampung deret di RT 12/4 Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara. Kampung ini dibangun pada saat Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI, Selasa (4/10/2016)

Namun, karena pendekatan yang dilakukan Jokowi, satu per satu warga akhirnya mau untuk mengikuti program tersebut. Wahid mengatakan, Jokowi pernah beberapa kali datang ke permukiman itu untuk langsung berkomunikasi dengan warga.

Warga juga semakin yakin mengikuti program itu karena diberi sejumlah uang oleh Pemprov DKI untuk merenovasi rumahnya.

"Pendekatan Pak Jokowi itu baik ya, dia saya lihat enggak neko-neko, dia bekerja, bekerja terus. Harapan saya ke depan dilanjutkan kampung deret ini karena kami bukan burung dara yang bisa ditempatkan di mana saja," ujar Wahid. (Baca: Ahok Tegaskan Kampung Deret Tidak Dibangun di Atas Lahan Negara)

Tidak ganggu mata pencaharian

Senada dengan Wahid, Aini menilai apa yang terjadi di kampungnya memperlihatkan bahwa saat itu Pemprov DKI benar-benar berniat untuk menata dan bukan menggusur warga. Aini mengaku kehidupannya berubah setelah Pemprov DKI membantu merenovasi rumahnya.

Dulu, rumah Aini dibangun menggunakan kayu dan tripleks. Belum lagi, lingkungan yang kotor membuat dirinya khawatir anaknya akan terkena penyakit.

Selain itu, program kampung deret membuat suaminya tidak harus meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan

"Kalau misalnya digusur, mau kerja apa ya, saya juga enggak tahu. Saya lihat di televisi, kasihan juga mereka (digusur), Pak Ahok maunya rusun terus, enggak mau buat yang seperti ini," ujar Aini.

Aini juga bersyukur, selama adanya kampung deret, air bersih dari PAM kini mengalir ke semua rumah warga. Sebelumnya, warga harus membeli air dari perusahaan swasta dengan tarif pengisian Rp 15.000 per jam. (Baca: Bangun Posko di Puing-puing Bukit Duri, Warga Sindir Jokowi soal Janji Kampung Deret)

Kini, dengan tarif Rp 65.000 per bulan, warga bisa menggunakan air bersih kapan pun diperlukan. Warga lainnya, Kasuli, menilai penertiban yang dilakukan Pemprov DKI bukanlah solusi. Saat ini, kata Kasuli, kehidupannya lebih baik tanpa harus digusur.

"(Penggusuran) bukan solusi menurut saya," ujar Kasuli.

Kompas Video Penertiban Bukit Duri
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

Megapolitan
Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Megapolitan
Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran 'Saudara Frame' Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran "Saudara Frame" Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Megapolitan
Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Megapolitan
Uang Korban Dipakai 'Trading', Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Uang Korban Dipakai "Trading", Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Megapolitan
Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' Berhasil Diidentifikasi

Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" Berhasil Diidentifikasi

Megapolitan
Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Megapolitan
Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Megapolitan
Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Megapolitan
Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Megapolitan
Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Megapolitan
Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Megapolitan
Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com