Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menutup Diskotek M di kompleks Taman Hiburan Rakyat Lokasari, Tamansari, Jakarta Barat, pekan ini, mendapat tanggapan berbeda di kalangan pengelola tempat hiburan malam.
Yuki dari Humas Diskotek M mendesak Pemprov DKI membatalkan keputusan menutup diskotek yang mereka kelola.
"Ada 300 pekerja yang cuma jebolan SMP, bahkan SD," katanya. Ia berkeberatan jika pengelola dikenai tanggung jawab mengawasi setiap pengunjung.
Minggu (9/10/2016) malam Basuki menginstruksikan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Catur Laswanto menutup Diskotek M. Keputusan tersebut dipicu penangkapan Ajun Komisaris Sun, Kanit 2 Ekonomi Satuan Intelkam Polres Metro Tangerang Kota, yang sedang mabuk serta mengantongi sepaket sabu dan dua butir ekstasi, di diskotek tersebut, Sabtu (8/10) pukul 02.00.
Kata Catur, Diskotek M telah mendapat surat peringatan pertama dari Disparbud DKI.
"Peringatan tersebut kami layangkan pada 30 Mei 2016 setelah sehari sebelumnya 17 pengunjung diskotek dibawa ke kantor BNN (Badan Narkotika Nasional) karena hasil pemeriksaan urine mereka menunjukkan bahwa mereka mengonsumsi narkoba," tutur Catur.
Sebelumnya, gubernur didukung polisi menutup Diskotek Stadium pada 19 Mei 2014.
"Berbeda kalau yang ditangkap itu pekerja kami yang mengedarkan narkoba. Kami rela ditutup kalau begitu. Ini, kan, pengunjung," ucap Yuki.
Apa yang disampaikan Yuki berbeda dengan fakta pengungkapan kasus narkoba selama ini. Di wilayah Polda Metro Jaya, misalnya, beberapa pengungkapan kasus narkoba bermula dari penggerebekan tempat hiburan malam, termasuk diskotek, dan apa yang ditulis sejumlah media massa tentang diskotek ini.
"Harga sebutir ekstasi di sebuah diskotek ditawarkan dengan harga Rp 450.000. Harga kemudian disepakati Rp 420.000," kata seorang jurnalis yang pernah meliput mendalam tentang peredaran narkoba di diskotek sambil menunjukkan hasil tulisannya yang diterbitkan pada Oktober 2015.
"Sebenarnya untuk menandai satu tempat hiburan malam menjadi tempat mengonsumsi ekstasi atau sabu itu mudah. Lihat saja tempat sampah mereka setiap hari. Dipenuhi botol-botol plastik bekas minuman mineral atau tidak," kata Ketua Forum Organisasi Kemasyarakatan Anti Narkoba Anhar Nasution.
Ia menduga, dari 780 tempat hiburan malam di Jakarta, 75 persen di antaranya terindikasi kuat sebagai tempat peredaran serta tempat mengonsumsi sabu dan ekstasi.
Satu diskotek lagi
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta Gea Hermansyah berpendapat, mekanisme peringatan pertama dan peringatan kedua (perintah penutupan usaha) belum jelas kriterianya. Jika aturan ini dilanjutkan, tambah Gea, ada satu diskotek lagi bakal tutup karena mendapat peringatan pertama karena pelayannya tertangkap tangan menjual narkoba.
Menurut pengelola kompleks Lokasari, Raya Siahaan, Diskotek M sudah sering diingatkan agar membebaskan diri sebagai tempat transaksi atau tempat mengonsumsi narkoba.
"Maret 2016 kami sudah mengingatkan pengelola 10 tempat hiburan malam di kompleks Lokasari ini agar tempat yang mereka kelola tidak dijadikan bisnis narkoba. Nyatanya, Mei 2016, diskotek ini justru mendapat peringatan dari Disparbud," katanya.
Dilema
Sepengamatan Kompas, sejak era Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, bisnis tempat hiburan malam menjadi salah satu unsur industri pariwisata dan menjadi andalan pendulang pendapatan asli daerah DKI dan menjadi lapangan kerja dengan penghasilan layak kalangan tenaga kerja lulusan SD dan SMP.
Posisinya nyaris tak pernah berubah, di peringkat kedua di bawah pendapatan dari pajak kendaraan bermotor.
"Sampai sekarang pun masih," kata Anhar.
Menjadi bermasalah karena sebagian besar sentra tempat hiburan malam ini menjadi tempat bertransaksi dan tempat mengonsumsi sabu dan ekstasi.
"Terbanyak di Jakarta Barat, diikuti Jakarta Utara, dan Selatan," ungkap Anhar.
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rudy Heriyanto Adi Nugroho yang mantan Kapolres Metro Jakarta Barat menambahkan, kawasan tempat hiburan malam di wilayahnya yang paling rawan narkoba masih di sekitar Mangga Besar.
Kata Anhar, arena narkoba di sentra tempat hiburan malam cepat meluas karena praktik pemerasan dan persekongkolan aparat.
"Dari kewajiban pengeluaran para pengusaha tempat hiburan malam ini, 70 persen pendapatan mereka masuk ke kas daerah, 30 persen lainnya masuk ke para 'penguasa ruang' tempat hiburan malam ini," ujar Anhar yang Juli lalu memilih melepaskan jabatan Ketua Asosiasi Tempat Hiburan Jakarta.
Menurut dia, sebenarnya jika Pemprov DKI bersama kekuatan tiga pilar (TNI, Polri, Satpol PP) mampu menjamin setiap tempat hiburan malam bebas dari setoran uang siluman, para pengelola tempat hiburan malam akan dengan senang hati menjaga tempat mereka bebas dari narkoba. (WINDORO ADI)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 29 dengan judul "Di Tengah Dilema Narkoba dan Pendulang Pendapatan DKI".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.