Dengan langkah tegap Anies masuk dalam lingkaran yang dulu disebutnya sebagai bagian dari masa lalu dan penuh mafia.
Mayor Agus Yudhoyono putra SBY
Agus Yudhoyono adalah calon yang mengejutkan yang diajukan koalisi Cikeas yang terdiri dari Partai Demokrat dan PKB. Agus maju bersama Sylviana Murni, birokrat senior di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Yang ini juga tak kalah “lucu”nya.
Lazimnya, tentara yang memilih jalur politik untuk menjadi kepala daerah adalah mereka yang sudah memiliki bintang di pundaknya.
Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo juga memutuskan pensiun saat berpangkat mayor, tapi, tidak untuk maju dalam pilkada. Ia pensiun tahun 2006 untuk membesarkan usaha garmen miliknya dan menjadi bupati enam tahun kemudian.
Dalam konteks ini, yang paling menarik bukan sosok Agusnya, tapi sikap ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tahun 2009, saat memberikan pengarahan kepada para perwira lulusan akademi TNI dan Polri yang bakal dilantik, SBY, mantan tentara Angkatan Darat yang berhasil memuncaki kursi kepresidenan, mengingatkan agar para prajurit TNI sebaiknya tidak bercita-cita menjadi kepala daerah mulai dari tingkat bupati, walikota, atau gubernur.
Seyogianya, kata SBY, cita-cita yang tertanam dalam sanubari para prajurit adalah menjadi jenderal, laksamana, atau marsekal.
"Yang tidak benar kalau kalian memasuki akademi TNI Polisi lantas cita-citanya ingin menjadi bupati, waikota, gubernur, pengusaha, dan lain-lain. Tidak tepat," kata SBY seperti dikutip Antaranews.com 22 Desember 2009.
Seperti Ahok, Anies, dan juga banyak politisi lainnya, SBY juga berubah haluan.
Politik memang menuntut kelenturan untuk tidak menyebutnya ketidakkonsistenan.
Lalu, kita bertikai
Pertanyaannya, sementara mereka sedemikian lenturnya dengan pilihan-pilihan politik yang kerap berubah dengan segala bungkus narasi justifikasinya, haruskah kita bertikai dan kehilangan kewarasan kita sebagai Indonesia yang bhineka dengan saling membenci dan memaki?
Perdebatan kita di ruang publik sudah bergeser dari substansi perhelatan pilkada. Bukannya berdebat tentang calon mana yang akan paling menyejahterakan masyarakat Jakarta, kita malah sibuk dengan urusan mata belo bahkan muncul kata-kata keras tentang membunuh.
Diskusi publik yang sungguh tidak damai.
Kita selalu sibuk pada orangnya dan lupa tentang programnya. Kita selalu terjebak pada sentimen hati dan lupa akan kewarasan nurani.
Kegembiraan hilang, berubah menjadi pertengkaran.
Padahal, hidup kita sudah susah dengan kemacetan yang tak kunjung terselesaikan, banjir dan genangan yang selalu mengancam saat hujan lebat datang, trotoar sempit jorok yang menghilangkan hak para pejalan kaki, dan aneka persoalan kota lainnya yang mengurangi kualitas hidup kita sebagai warga Jakarta.
Kenapa kita tidak pernah memperdebatkan itu?
Kita punya hak untuk sejahtera. Itulah yang harus kita tuntut dari mereka yang maju dalam pilkada nanti.
Mari menjadi kembali waras dan merayakan pesta demokrasi ini dengan gembira tanpa harus saling memaki dan membenci, apalagi mengorbankan pertemanan, persaudaraan, dan Indonesia kita yang bhineka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.