Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Pak Tukin, Mimpinya atas Jepara

Kompas.com - 14/10/2016, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Tahukah Anda harga menu Decouverte yang menyajikan lima macam makanan di Emilie (barangkali ini restoran Perancis paling terkenal di Jakarta) sebesar Rp 1,28 juta?

Jika Anda memilih menu tersebut dengan tambahan pilihan jenis wine, harganya naik sekitar 60 persen.

Menu tersebut terdiri dari ikan turbot Atlantik, foie gras, dan “croustillant” yang rasanya caramel dan coklat, dipadu dengan pilihan minuman anggur dari Selandia Baru, Perancis, dan Amerika.

Emilie berlokasi di Jalan Senopati, Jakarta Selatan, dan tidak jauh dari tempat saya tinggal.

Ketika saya awal-awal pindah ke lingkungan ini, jalan rayanya tidak terlihat indah dan cenderung membosankan: sebuah pusat apotik, doktor, dan salon kecantikan.

Sekarang, jelas sudah berubah. Saya sangat terkesan – jika tidak bisa disebut terkejut – dengan beberapa aspek dari perubahan ini.

Kaum muda di kota Jakarta berdatangan ke kafe-kafe dan restoran-restoran di daerah Senopati yang selalu berubah.

Selain kemacetan lalu lintas yang disebabkan oleh kumpulan customer kaya yang keluar dari mobil mereka masing-masing, daerah Senopati sedang tumbuh pesat.

Pembangun-pembangun properti mengubah rumah-rumah keluarga menjadi komplek apartemen. Komplek apartemen yang paling besar di daerah tersebut adalah proyek “District 8” yang dimiliki oleh Agung Sedayu.

Letak proyek ini sangat dekat dengan Emilie. Dengan memiliki tujuh menara, bahkan beberapa dari menara tersebut terdiri dari lebih dari 60 lantai, serta total harga proyek yang mencapai lebih dari Rp 26 triliun, kemegahan proyek District 8 terlihat sangat jelas di area tersebut.

Seiring dengan berjalannya proses konstruksi proyek tersebut, saya mengamati kelompok pekerja yang meninggalkan area proyek tersebut pada malam hari.

Saya seringkali berkendara melintasi proyek tersebut ketika para pekerja proyek berjalan pulang dengan lelahnya ke pondokan mereka. Mereka membawa topi kerja dan mengenakan sepatu kerja berwarna kuning.

Meskipun mereka berjumlah ratusan, mereka seperti hantu di tengah jalanan yang tidak memiliki lampu penerangan yang baik. Keadaan tersebut semakin terlihat ketika para pekerja berjalan melewati pelanggan-pelanggan yang berpakaian rapi di restoran dan bar lokal.

Beberapa pekerja yang kelelahan terlihat menunggu untuk dijemput oleh truk atau minivan. Kelompok yang lain menundukkan badan di tepi jalan, melahap semangkuk bakso atau minum minuman jamu.

Satu atau dua orang hanya berdiri di tengah kegelapan dengan mengisap rokok kretek sewaktu rekan-rekannya yang lain menghampiri warung yang menjual sikat gigi, alat pengisi baterai telepon, kaos kaki, dan pakaian dalam.

Pemandangan seperti ini dapat dijumpai di beberapa area di kota-kota besar. Di Bangkok, pemandangan serupa dapat ditemukan di Thonglor dan di tepi jalan di belakang daerah Sukhumvit.

Di Kuala Lumpur, hal ini dapat terlihat di daerah Bangsar. Sedangkan di Manila dapat ditemukan di area Rockwell.

Perbedaan yang sangat jelas antara kaum kaya dan miskin dapat ditemukan di lingkungan daerah-daerah ini.

Ketika kita mengkritik angka koefisien gini yang mendasari perbedaan ini, apakah kita pernah berhenti untuk memikirkan siapakah orang-orang ini?

Siapa nama-nama mereka? Dari mana asal mereka? Siapakah istri dan anak-anak mereka? Apakah mereka senang dengan nasib mereka? Apakah mereka bermimpi suatu hari dapat tinggal di apartemen megah yang mereka bangun ini?

Di kota-kota seperti Singapura dan Kuala Lumpur, di mana sebagian besar buruh kerja didatangkan dari luar negeri – seperti Banglades, India, Pakistan dan Nepal – orang-orang ini bahkan lebih tidak terlihat.

Sebagai perbandingan, di Jakarta, Ho Chi Minh, dan Manila, pekerja konstruksi adalah orang lokal. Misalnya, di Senopati, mereka pada umumnya adalah orang Jawa yang sangat miskin.

KARIM RASLAN Tukin
Sekarang ini, untuk CeritalahAsean, kami telah menghabiskan waktu dengan salah satu pekerja konstruksi District 8. Namanya Pak Tukin, dan dia sudah berumur 50 tahun.

Dengan tulang tubuh yang besar namun kurus sekali, Pak Tukin menyambut kami dengan ramah.

Tim CeritalahAsean (ditemani oleh seorang fotografer) sempat ikuti Pak Tukin menggunakan bis pulang ke desanya yang terletak tepat di pinggiran kota Jepara, pusat pembuatan mebel di Jawa Tengah.

Pak Tukin adalah seorang pekerja dengan kemampuan setengah terampil. Dia menerima Rp 49.000 setiap hari jika dia bekerja selama 8 jam. Dia bisa mendapat tambahan uang sebesar 40 persen jika dia bekerja lembur selama 3 jam.

Pak Tukin membutuhkan uang sebesar gajinya selama sebulan (disertai dengan lembur) untuk bisa mencoba menu Decouverte di Emilie.

Bercerai dan telah menikah kembali, Pak Tukin memiliki dua orang anak dari pernikahan dengan istri pertamanya. Anak pertamanya (sekarang berumur 28) sudah memiliki dua orang anak.

Sedangkan anak keduanya yang berumur 17 tahun, Dini, sudah menikah ketika Pak Tukin pulang kampung. Kami merasa terhormat dapat hadir dan merekam acara pernikahan anaknya itu.

“Saya bertani pada sebidang lahan seluas setengah hektar. Lahan ini tidak mempunyai sistem irigasi sehingga saya hanya bergantung dari curah hujan. Saya menanam singkong, jagung, kacang, dan ketimun. Saya bisa mendapat sekitar 1,2 juta rupiah setelah 9 bulan penanaman. Untungnya, tanaman singkong tidak memerlukan perhatian penuh sehingga istri saya dapat menanganinya sewaktu saya tidak ada.”

Dengan logat Jawanya yang kental, Pak Tukin menjelaskan dengan sangat lengkap tentang bagaimana dia berusaha mendapatkan lebih dari Rp 8 juta untuk biaya pernikahan anak perempuannya, dan untuk membiayai hidup istrinya.

“Saya tidak mempunyai tabungan,” katanya terus terang. Kemudian dia lanjut mengatakan, “Saya harus meminjam enam juta rupiah dari seorang sepupu dan dua juta rupiah dari seorang rentenir. Untungnya, sepupu saya tidak mendorong saya untuk cepat melunasi, namun saya harus membayar rentenir sebesar Rp 250 ribu tiap bulan dalam 10 bulan ke depan. Jika tidak, mereka akan mendatangi saya.”

“Saya berharap ada lebih banyak pekerjaan di Jepara. Kemampuan mengukir kayu saya tidak begitu baik, namun saya dapat menangani kabel-kabel listrik dengan mudah. Saya akan melakukan apa saja agar bisa bangun tidur pagi hari di desa saya."

Sambil memandang ke kejauhan, dia tersenyum lemah dan mengatakan, “Ketika saya bangun tidur di pondokan milik perusahaan, saya hanya dapat bermimpi sedang duduk sendirian memandang ladang singkong saya.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Rumah Pemenangan Prabowo-Gibran Kemalingan, TV, Alat Podcast dan Dokumen Penting Raib Dicuri

Rumah Pemenangan Prabowo-Gibran Kemalingan, TV, Alat Podcast dan Dokumen Penting Raib Dicuri

Megapolitan
KPU Gelar Sayembara Maskot dan 'Jingle' Pilkada DKI 2024 Khusus Warga Jakarta

KPU Gelar Sayembara Maskot dan "Jingle" Pilkada DKI 2024 Khusus Warga Jakarta

Megapolitan
Berdiri Hampir Satu Jam, Pemudik Minta Tempat Duduk di Stasiun Pasar Senen Ditambah

Berdiri Hampir Satu Jam, Pemudik Minta Tempat Duduk di Stasiun Pasar Senen Ditambah

Megapolitan
Korban Kecelakaan Mobil di Sawangan Depok Alami Memar hingga Patah Tulang

Korban Kecelakaan Mobil di Sawangan Depok Alami Memar hingga Patah Tulang

Megapolitan
Diduga Alami 'Microsleep', Pengemudi Jazz Hantam Mobil Innova di Sawangan Depok

Diduga Alami "Microsleep", Pengemudi Jazz Hantam Mobil Innova di Sawangan Depok

Megapolitan
Pekan Ini, Pemprov DKI Bakal Surati Kemendagri untuk Nonaktifkan NIK 92.432 Warga Jakarta

Pekan Ini, Pemprov DKI Bakal Surati Kemendagri untuk Nonaktifkan NIK 92.432 Warga Jakarta

Megapolitan
Lebaran 2024 Usai, Fahira Idris: Semoga Energi Kebaikan Bisa Kita Rawat dan Tingkatkan

Lebaran 2024 Usai, Fahira Idris: Semoga Energi Kebaikan Bisa Kita Rawat dan Tingkatkan

Megapolitan
H+6 Lebaran, Stasiun Pasar Senen Masih Dipadati Pemudik yang Baru Mau Pulang Kampung

H+6 Lebaran, Stasiun Pasar Senen Masih Dipadati Pemudik yang Baru Mau Pulang Kampung

Megapolitan
Dirawat di Panti Sosial, Lansia M Masih Melantur Diperkosa oleh Ponsel

Dirawat di Panti Sosial, Lansia M Masih Melantur Diperkosa oleh Ponsel

Megapolitan
Dua Korban Tewas Kecelakaan Tol Cikampek Km 58 Asal Depok Dimakamkan di Ciamis

Dua Korban Tewas Kecelakaan Tol Cikampek Km 58 Asal Depok Dimakamkan di Ciamis

Megapolitan
Lansia yang Mengaku Diperkosa Ponsel Diduga Punya Masalah Kejiwaan

Lansia yang Mengaku Diperkosa Ponsel Diduga Punya Masalah Kejiwaan

Megapolitan
Pakai Mobil Dinas ke Puncak, Pejabat Dishub DKI Disanksi Tak Dapat Tunjangan 2 Bulan

Pakai Mobil Dinas ke Puncak, Pejabat Dishub DKI Disanksi Tak Dapat Tunjangan 2 Bulan

Megapolitan
98.432 Pemudik Sudah Kembali ke Jakarta Naik Kereta Api via Stasiun Pasar Senen

98.432 Pemudik Sudah Kembali ke Jakarta Naik Kereta Api via Stasiun Pasar Senen

Megapolitan
Dishub DKI: 80 Persen Pemudik Sudah Pulang, Lalu Lintas Jakarta Mulai Padat

Dishub DKI: 80 Persen Pemudik Sudah Pulang, Lalu Lintas Jakarta Mulai Padat

Megapolitan
Wanita di Jaksel Sempat Cekcok dengan Kekasih Sebelum Gantung Diri

Wanita di Jaksel Sempat Cekcok dengan Kekasih Sebelum Gantung Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com