JAKARTA, KOMPAS.com - Empat bulan menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta, KPU DKI membuka pendaftaran bagi lembaga-lembaga yang ingin mengadakan survei, jajak pendapat, dan hitung cepat.
Berdasarkan Pasal 131 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, masyarakat bisa berpartisipasi melalui survei, jajak pendapat, dan perhitungan cepat.
Namun, partisipasi melalui survei, jajak pendapat, dan perhitungan cepat itu tidak boleh berpihak, menguntungkan, atau merugikan salah satu pasangan calon. Pun menganggu berlangsungnya pilkada.
Terkait hal ini, lembaga survei yang ingin berpartisipasi dalam pilkada diharuskan mendaftarkan diri ke KPU DKI Jakarta.
(Baca juga: KPU DKI Buka Pendaftaran untuk Lembaga Survei yang Ingin Berpartisipasi di Pilkada)
Nantinya, hasil survei lembaga tersebut dicantumkan di situs KPU DKI serta dinyatakan sebagai lembaga yang kredibel dan dapat dijadikan referensi masyarakat.
Jika sudah terdaftar, lembaga ini harus mengikuti aturan terkait penelitian dan mengumumkan hasilnya.
Sanksi bagi lembaga survei
KPU DKI kemudian berhak menggelar sidang etik dan menjatuhkan sanksi apabila ada laporan bahwa lembaga survei yang terdaftar ini merugikan pasangan calon atau menganggu proses pilkada.
Sanksi yang diberikan bisa berupa pengumuman ke publik bahwa lembaga itu tidak kredibel, berupa peringatan, larangan melakukan kegiatan terkait, dan diproses pidana.
(Baca juga: Ini Sanksi bagi Lembaga Survei yang Berpihak)
Dalam sosialisasi pendaftaran lembaga survei yang diadakan di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (13/10/2016), peneliti Sindikasi Pemilu Demokrasi, Dian Permata, menantang KPU DKI untuk membuat terobosan dengan secara aktif mengawasi survei-survei, alih-alih hanya menunggu laporan.
Soal sumber dana lembaga survei misalnya. Selama ini, lembaga survei kerap mengaku bahwa kegiatan mereka menggunakan uang dari kantong sendiri.
"Enggak ada kemajuan diskursus soal ini, kalau KPU DKI mau jadi pionir, bisa enggak ngejar? Kami (lembaga survei) susah payah ke lapangan, bisa enggak ngejar sampai sana?" kata Dian.
(Baca juga: Lembaga Survei Boleh Didanai Pasangan Cagub-Cawagub)
Sementara itu, Mutakim dari Indikator Politik menyayangkan jika KPU tidak berperan aktif.
Ia mempertanyakan hasil survei selama ini yang berbeda-beda antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.
Survei yang didanai oleh pasangan calon dinilai sah saja selama menggunakan metodologi ilmiah yang benar. Namun, survei menyesatkan dinilai harus ditindak.
"Saya merasa bagaimana susah payah bergulat di lapangan. Kami tidak bisa tiga hari (ambil data), selalu lebih dari enam hari. Tiba-tiba ada yang merilis dengan hasil bombastis, tanpa kemudian ada sidang etik," kata Mutakim.
KPU DKI menyatakan, pihaknya hanya menjalankan peraturan yang ada, yaitu UU Pilkada dan peraturan KPU (PKPU).
Lembaga survei sendiri dianggap tidak bertanggung jawab kepada KPU, melainkan kepada publik.
KPU DKI mengaku tidak memiliki kewajiban untuk mengawasi dengan ketat.
Dengan demikian, jika ada penyimpangan, kerugian yang dialami hanyalah nama baik lembaga yang kredibilitasnya dipertanyakan.
(Baca juga: Melihat Hasil Survei Pilkada DKI 2017 dari Tiga Lembaga)
Ali Rif'an dari Poltracking menyambut baik upaya KPU DKI dalam menggandeng lembaga survei.
Menurut dia, ini bisa jadi pertimbangan bagi lembaga survei untuk lebih mempertanggungjawabkan kerjanya ke depan.
Hanya saja, KPU DKI dinilai perlu memperdalam pengawasannya terhadap lembaga survei.
"Masih perlu diperdalam apa yang dimaksud dengan kredibel, apa saja ukurannya," ujarnya.
Soal hitung cepat
Ali lantas menekankan ujung tombak adu data, yakni pada hitung cepat atau "quick count".
Belajar dari pilpres 2014, ada lembaga survei yang dinilai memanipulasi data hitung cepat.
Ketika Kompas, SMRC, CSIS-Cyrus, LSI, IPI, Poltracking, Populi, dan RRI mengunggulkan pasangan Jokowi-JK, empat lembaga survei justru menyatakan sebaliknya.
Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI), justru memenangkan pasangan Prabowo-Hatta.
Keempat lembaga ini sempat dilaporkan polisi. Puskpatis dan JSI yang tergabung dalam Perhimpunan Survei dan Opini Publik (Persepi), akhirnya dikeluarkan karena menolak diaudit.
"Apalagi Jakarta di pilkada ini kan panas sekali, pilkada bisa jadi contoh, jadi etalase untuk pemilu-pemilu lain ke depan," kata Ali.
(Baca juga: KPU DKI: Lembaga Survei Tidak Boleh Jadi Corong Kepentingan Politik)