JAKARTA, KOMPAS.com - Nama Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung, Jakarta Timur tak asing bagi sebagian besar orang. Perkampungan ini punya sejarah panjang dan sudah berusia cukup lama.
PIK Pulogadung yang terletak di Jalan Raya Penggilingan merupakan 'rumah' bagi pedagang dan industri kecil.
Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, dan Perdagangan (UMKMP) Provinsi DKI Jakarta, menyatakan, di PIK Pulogadung ada sekitar 600 industri kecil. Sebanyak 25 persennya dari mereka merupakan pedagang.
Industri kecil di PIK rata-rata berbentuk seperti rumah toko (ruko). Produknya diproduksi langsung di lokasi itu, lalu dijajakan di toko-toko yang juga berada di sana. Walau ada juga yang berbentuk pabrik dengan bangunan cukup besar.
PIK Pulogadung sudah ada sejak tahun 1970-an. Kawasan itu dulunya terkenal dan dikunjungi orang layaknya mal, sebelum kemudian tergerus oleh perubahan zaman. Meski demikian, industri kecil di sana masih bisa bertahan.
PIK Pulogadung yang luasnya mencapai 37 hektar punya potensi untuk terus berkembang. Sekitar 23 hektar lahannya masih kosong.
Berbagai jenis industri kecil bergerak di kawasan itu. Sebut saja usaha tekstil dan garmen, yang memproduksi berbagai macam tas, koper, jaket, sepatu, pakaian, dan celana. Ada pula penjual mainan anak, aksesoris atau suku cadang sepeda motor. Pabrik skala kecil yang membuat komponen untuk industri otomotif juga ada di PIK.
Soal harga, produk dari PIK tergolong murah. Sebagain besar pedagangnya merupakan pedagang grosir. Pembelinya pun kebanyakan pemborong, yang hendak menjual lagi barang-barang itu ke Jakarta, Bekasi, Tangerang, Karawang, dan daerah lainnya.
Produk dari PIK juga masuk ke pasar-pasar besar seperti Tanah Abang, Pasar Senen, atau pesanan untuk instansi swasta dan pemerintah. Produk dari PIK Pulogadung juga mulai dijual secara online dengan bekerja sama dengan toko-toko online.
Bersaing Ketat
Meski tetap bertahan, industri tekstil dan garmen di PIK harus bersaing ketat dengan produk impor asal China. Prodak China di pasaran murah harganya.
Ari (34), salah satu pembuat sekaligus pedagang tas di PIK bercerita, tak sedikit rekannya sesama penjual tas gulung tikar alias tutup karena tak bisa bersaing. Selain itu, harga produknya sulit naik tetapi bahan baku malah naik.
"Jadi produksi bisa, tapi kalau enggak ada yang beli gimana. Akhirnya tutup, ada juga yang ganti jadi pedagang kaki lima," kata Ari.
Selain tutup atau beralih usaha, ada pula rekannya yang pulang kampung dan memilih membuka usaha di daerah karena ongkos produksinya yang masih murah.
"Jadi persaingan banyak, ada yang dulu mulanya karyawan kami tetapi mulai merintis sendiri," kata Ari.