Kisah unik-menarik, bahkan sedikit klenik, kami peroleh dari para prajurit asal Batalyon Infanteri 713/Satyatama, Gorontalo, Sulawesi. Misalnya, kisah terkait musibah jatuhnya Helikopter Mi-17 Milik TNI Angkatan Darat yang menewaskan 13 orang, anggota TNI maupun warga sipil.
Tempat tersebut juga menjadi lokasi, semacam wajib dikunjungi tentara yang bertugas ke Long Bulan. Penerbang yang memasok kebutuhan pokok prajurit, dikenal dengan istilah pendorongan logistik (dorlog), terpanggil singgah dan ziarah ke lokasi musibah.
Pilot Yohanes, misalnya, mengakui pernah mampir ke lokasi heli jatuh.
"Saya pernah melihat lokasi jatuhnya heli di Long Bulan, yang tadi kita terbangi. Saya turut berduka dan berdoa terhadap rekan-rekan kami yang gugur," ujar Yohanes saat saya wawancarai dalam kesempatan terpisah-pisah karena waktu sempit.
Walaupun heli pernah mengalami kecelakaan, kata dia, hal itu tidak menciutkan nyali dalam bertugas.
"Helikopter kita pernah jatuh, tapi sama sekali itu tidak mengecilkan hati, dan tidak membuat takut kru-kru kami. Karena jiwa kami lebih terpanggil untuk dorlog ke rekan-rekan di perbatasan untuk mengantarkan makanan kepada petugas," kata Yohanes.
Lulusan Sekolah Penerbang TNI AD tahun 2009 ini akan menjadikan insiden tersebut sebagai bahan pelajaran agar tidak muncul lagi masalah serupa di kemudian hari.
Mayjen Johny sendiri mampir ke lokasi heli ini, untuk kali pertama. Usai patroli patok/tugu perbatasan, sekitar 700 meter dari pos Long Bulan, ke tengah hutan, Pangdam menyempatkan waktu berkunjung ke lokasi heli jatuh. Dia pun meminpin doa di lokasi heli nahas itu.
"Saya mengunjungi lokasi heli jatuh, supaya tahu letak dan kondisinya. Sehingga kalau ditanya orang lain, saya bisa menceritakan, semacam referensilah," kata Johny.
Di lokasi jatuhnya heli itu, banyak kisah misterius, bahkan terkesan klenik. Saat bermalam di pos Long Bulan, Selasa (23/8/2016), kami mendengar kisah-kisah unik tentang peristiwa heli jatuh, maupun sesudahnya.
Kemudian, dalam penerbangan hari ketiga, Rabu (24/8/2016), saat itu, Yohanes mendaratkan tersebut, tidak mendarat sempurna di landasan atau helipad, sebab landasan yang terbuat dari papan dalam kodisi kurang laik. Baling-baling tetap berputar saat penumpang naik.
"Heli tidak bisa mendarat sebab landasan tidak kuat. Takutnya kalau heli mendarat, ada papan yang patah, lalu saat terbang, papan terangkat justru bisa bikin heli miring. Kalau sudah miring bahaya, baling-baling bisa menghantam helipad," ujar Johny L Tobing.
Kami terbang menuju pos Long Pujungan, Kecamaan Pujungan, Malinau. Waktu yang diperlukan sekitar 30 menit. Dalam penerbangan, heli rata-rata kecepatan 100 - 122 knot (setara 185 - 222 km/jam).
Setelah terbang sekitar 15 menit, di atas hutan lebat, dan pegunungan dengan lembah yang terjal, badan helikopter tiba-tiba terguncang, oleng ke kiri dan kanan. Ekornya terasa berbelok, dan kecepatan mendadak menurun. Memang tidak sampai terhempas, mengocok perut penumpang.
Andaikan tangan memegang gelas berisi tiga perempat, airnya tidak akan tertumpah oleh karena guncangan.