"Sekarang semua publikasi kan serbamudah, harusnya hari ini diputuskan besoknya sudah ada salinannya," ujarnya.
Azmisyah pun menyatakan keseriusan MA dalam mereformasi hukum bisa diragukan jika dalam publikasi salinan putusan saja justru mengundang tanda tanya.
"Karena penundaan penerbitan salinan putusan itu, justru menjadi celah pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan keadaan," katanya.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting berpendapat bahwa masih ada celah-celah hukum yang mesti diperbaiki secara serius oleh negara.
Dalam kasus JIS, katanya, salah satu poin yang mesti dibenahi adalah implementasi sistem peradilan itu sendiri.
Ia menganggap dalam kasus JIS ini majelis hakim mengambil keputusan tidak berdasarkan kepastian alat bukti di persidangan.
Menurut Miko, hasil visum siswa JIS yang disebut menjadi korban kekerasan seksual secara materi sudah tidak memenuhi syarat kepastian hukum.
Hal itu karena empat hasil tes tidak membuktikan bahwa sang anak mengalami luka seperti yang diklaim selama ini.
Hal itu juga semakin menguatkan bukti bahwa enam petugas kebersihan yang menjadi terpidana mesti dibebaskan.
"Hakim dalam memutuskan tidak boleh ada unsur keragu-raguan, jadi putusan hakim patut dipertanyakan jika memutuskan berdasarkan hasil visum yang materinya diragukan," kata Miko.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan