JAKARTA, KOMPAS.com - Pada era perkembangan teknologi seperti saat ini, kampanye politik seolah menjadi lebih mudah.
Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 misalnya, media sosial terasa disesaki konten kampanye para calon gubernur dan calon wakil gubernur.
Masing-masing calon berusaha menggaet pemilih dengan menebarluaskan ide mereka di media sosial.
Lantas, seberapa efektif kampanye yang dilakukan melalui media sosial?
CEO Cyrus Network Hasan Nasbi menyampaikan bahwa efektivitas kampanye di media sosial tergantung pada aksesibilitas masyarakat terhadap konten kampanye di media sosial tersebut.
"Kemudian kedua faktornya, kontennya apa dulu. Cape-cape kampanye di media sosial, kontennya enggak menarik, enggak ada pengaruhnya," kata Hasan di Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (6/12/2016).
(Baca juga: PoliticaWave: Terjadi Polarisasi Perbincangan soal Ahok di Media Sosial)
Hasan sepakat bahwa media sosial kerap digunakan karena lebih murah, mudah, dan fleksibel. Para calon bisa menyebarluaskan idenya dengan beragam fitur, mulai dari gambar hingga video.
"Kalau salah bisa gagal juga, berita hoax juga ada. Jadi bisa negatif atau positif," kata Hasan.
Menentang "black campaign"
Calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, mengaku tak memiliki strategi khusus dalam berkampanye di media sosial.
Namun, Ahok meminta agar pendukungnya tak menyerang calon lain. Apalagi, melontarkan isu terkait agama.
"Untuk apa diserang? Enggak usah nyerang yang lain deh," kata Ahok di Rumah Lembang, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2016).
"Untuk apa begitu loh. Macam-macam lah, kita minta juga tolong jangan nyerang, toh semua berlomba-lomba menyampaikan program," kata dia.
Selama satu bulan cuti, Ahok tak melihat ada adu program tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Ahok melihat ketiganya saling mem-bully dan menjelek-jelekan.
"Itu enggak sehat, itu saya sampaikan," kata dia.
(Baca juga: Polarisasi Opini di Media Sosial Meningkat Saat Pilkada)