JAKARTA, KOMPAS.com — Pendiri dan peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Bivitri Susanti, berpandangan, ada masalah mendasar pada pasal penistaan agama.
Bivitri menilai, Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak layak digunakan dan mudah dijadikan alat kepentingan politik.
"Menurut saya, ada masalah mendasar pada pasal penistaan itu. Pasal itu tidak layak digunakan, terlalu karet dan terlalu mudah dijadikan alat kepentingan politik," ujar Bivitri saat dihubungi wartawan, Rabu (17/12/2016).
Ia tidak mau menilai layak tidaknya pasal tersebut diterapkan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang kini sudah menyandang tersangka kasus penistaan agama.
"Kalau layak tidaknya, kalau kita pakai asumsi pasal yang dipakai sudah benar, saya tidak bisa menjawab karena belum lihat bukti-bukti," katanya.
Peradilan kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Ahok akan berlangsung, Selasa (13/12/2016).
Bivitri menganggap cepatnya proses hukum terhadap Ahok sebagai hal biasa.
Namun, kasus Ahok tersebut terkesan melempar bola panas dari kepolisian kemudian ke kejaksaan, lalu di ujungnya pengadilan.
"Kalau dibandingkan dengan kasus lain, ini sangat cepat. Kelihatan sekali Ini karena tekanan massa dan politik," ucap Bivitri.
Diketahui, sebelum Ahok ditetapkan sebagai tersangka, berlangsung aksi unjuk rasa, Jumat (4/11/2016).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.