Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ngototnya" Ahok Beli Lahan Eks Kedubes Inggris yang Disebut Milik Pemerintah Pusat

Kompas.com - 09/12/2016, 06:31 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak 2013, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, sudah mewacanakan pembangunan sebuah ruang terbuka hijau di kawasan Bundaran Hotel Indonesia.

Kebetulan, saat itu Kantor Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia baru saja pindah ke Patra Kuningan dari kantor sebelumnya di sekitar Bundaran HI, tepatnya di depan Mandarin Hotel.

Lahan eks kedubes di kawasan Bundaran HI itulah yang diwacanakan Ahok untuk dijadikan ruang terbuka hijau.

Menurut Ahok, rencana untuk membangun ruang terbuka hijau di Bundaran HI terilhami dari gagasan proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden pertama RI, Soekarno.

"Intinya, konsepnya di sana (lahan bekas Kedubes Inggris) dibikin taman dulu. Kalau konsep Bung Karno itu, bikin Bundaran HI, di sampingnya ada tamannya. Bayangkan di tengah Bundaran HI ada taman, bagus," kata Ahok ketika itu.

Seiring berjalannya waktu, keinginan Ahok agar Pemprov DKI membeli lahan eks Kedubes Inggris itu tak berjalan mulus.

Ada sejumlah kendala yang dialami instansi terkait, yakni Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah DKI, untuk bisa membeli lahan itu. Kondisi ini membuat Ahok kesal.

Kekesalan Ahok

Kekesalannya memuncak ketika ia mengaku disambangi Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam T Malik pada April 2016.

Saat itu, Ahok menyebut Moazzam menanyakan kepastian rencana Pemprov DKI membeli lahan tersebut.

Sebab, menurut Dubes Inggris, Deutsche Bank ingin membeli lahan itu dengan harga lebih mahal.'

"Ngamuk saya. Hebat sekali dinas taman membuat dubes dan Kerajaan Inggris 'mengemis' sama Pemprov DKI Jakarta karena enggak beli tanahnya," kata Ahok, Rabu (13/4/2016).

(Baca juga: Ahok Kesal Lahan Bekas Kedubes Inggris Tak Kunjung Dibeli)

Ia sampai mengancam akan memecat pejabat Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta lantaran belum membeli lahan bekas Kedubes Inggris tersebut.

Apalagi, pembelian lahan sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2016.

Ahok menduga, Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta sengaja menunda pembelian lahan karena masih ingin memungut komisi.

"Kalau bulan Mei enggak mau bayar, gue pecat lu semua," kata Ahok.

Ia menyebut pihak Kedubes Inggris sudah berjanji kepada Presiden Joko Widodo untuk tetap menjual lahan mereka kepada Pemprov DKI. Nilai lahan dan bangunannya mencapai Rp 500 miliar.

Tak disetujui DPRD

Keinginan Ahok untuk membeli lahan eks Kedubes Inggris ini sebenarnya tak mendapatkan persetujuan dari DPRD DKI. 

Dewan menilai, lahan yang hendak dibeli itu terlalu mahal. Sebab, dengan harga Rp 470 miliar, sama saja Pemprov DKI membeli lahan dengan harga Rp 100 juta per meter persegi.

Saat rapat kerja dengan Dinas Pertamanan dan Pemakaman di Gedung DPRD DKI, Kamis (11/8/2016), anggota Komisi D DPRD DKI, Prabowo Soenirman, sempat mengingatkan agar rencana pembelian lahan itu tak dilanjutkan.

"Apakah layak membeli lahan 5.000 meter persegi dengan harga hampir Rp 500 miliar. Artinya Rp 100 juta per meter, itu kepantasan dan kebutuhannya apa? Apakah perlu?" kata Prabowo saat itu.

Prabowo menilai, Pemprov DKI seharusnya bisa mendapatkan lahan lebih luas jika membeli lahan di lokasi lain.

"Kalau perlu ya beli saja di pinggiran. Kenapa enggak beli yang Rp 5 jutaan per meter. Bisa dapat 10 hektar. Bisa beli lahan hijau lebih banyak kan?" ujar dia.

(Baca juga: Prabowo Soenirman Sesalkan Pembelian Lahan Eks Kedubes Inggris)

Selain menyoroti harga, Prabowo menyinggung mengenai tidak adanya pembahasan dengan DPRD terkait rencana pembelian lahan yang berlokasi di sekitar Bundaran HI itu.

Ia menyebut Pemprov DKI memang mengajukan anggaran pengadaan lahan, tetapi tidak mencantumkan jika lahan yang dibeli adalah lahan Kedubes Inggris.

Terlebih, kata dia, lahan eks Kedubes Inggris adalah lahan yang berada di zona merah (perkantoran).

Padahal, Pemprov DKI berencana membangun taman yang masuk zona hijau pada lahan tersebut.

"Jadi saya tanya, memang dinas taman pernah beli lahan perkantoran? Enggak pernah kan? Gubernur itu kan kepala daerah. Jangan main tabrak aturan. Makanya tadi kami sepakat jika terjadi apa-apa, kami tidak akan tanggung jawab, lho," ucap anggota Fraksi Partai Gerindra ini.

Meski ditentang, dalam perkembangannya, Pemprov DKI tetap melanjutkan rencana pembelian lahan itu.

Pada akhir Agustus, Pemprov DKI Jakarta bahkan disebut sudah mencapai kesepakatan dengan pihak Kedubes Inggris.

Kesepakatan ditandai dengan penandatangan nota kesepahaman antara kedua belah pihak pada 25 Agustus 2016.

"Harga jualnya di posisi Rp 479 miliar," kata Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Djafar M di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (5/9/2016).

(Baca juga: Pembelian Lahan Bekas Kedubes Inggris Rampung Awal Desember)

Dana pembelian itu, menurut dia, memakai anggaran Dinas Pertamanan dan Pemakaman pada APBD 2016.

Menutut Djafar, Pemprov DKI Jakarta akan merampungkan pembelian lahan pada awal Desember.

Ia menyebut Pemprov DKI sudah mengantongi surat pernyataan dari Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN (Badan Pertanahan Nasional) bahwa lahan itu dapat dibeli.

Setelah ada surat rekomendasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang, kata Djafar, akan diterbitkan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT).

Dengan demikian, status lahan sudah selesai dan dapat segera dibayar.

"Proses selanjutnya, ada di lembaran ketiga, yaitu terkait pembayaran rekognisi. Ini lagi dicek karena belum jelas maksudnya, kami konsultasi terus dengan BPN," kata Djafar.

Milik pemerintah pusat

Menurut Djafar, banyak hambatan dalam pembelian lahan bekas Kedubes Inggris ini, salah satunya terkait sertifikat lahan tersebut.

Sebab, sertifikat lahan itu diterbitkan sejak 1960, sehingga perlu dilakukan pengecekan ulang.

"Jadi jenis sertifikatnya lama, berbeda dengan surat sertifikat sekarang, termasuk logonya yang masih bola dunia dan belum seperti sekarang logo garuda," kata dia.

Selang beberapa bulan setelah tercapainya kesepakatan, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengungkapkan fakta baru terkait lahan eks Kedubes Inggris berdasarkan temuan Badan Pertanahan Nasional.

Ia menyebut lahan tersebut ternyata dimiliki oleh pemerintah pusat.

"Jadi, menurut BPN, mereka (Kedubes Inggris) harus bayar sewa karena itu dulu tanahnya pemberian pemerintah," kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (7/12/2016).

(Baca juga: Lahan Eks Kedubes Inggris yang Dibeli Pemprov DKI Ternyata Punya Pemerintah Pusat)

Menurut Saefullah, pihak Pemprov DKI sempat berdialog dengan pihak Kedubes Inggris.

Dalam dialog yang juga diikuti pihak Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri itu, kata dia, pihak Kedubes mempertanyakan tidak pernahnya ada penagihan uang sewa.

"Mereka justru tanya harus bayar sewa ke siapa nih karena tidak ada tagihannya," ujar Saefullah.

Ia menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan meminta legal opinion dari kejaksaan terkait status lahan ini.

Menurut Saefullah, legal opinion diperlukan untuk memutuskan perlu atau tidaknya Pemprov DKI membayar lahan itu.

(Baca juga: DKI Minta "Legal Opinion" Kejaksaan soal Lahan Eks Kedubes Inggris)

Saefullah menyatakan, Pemprov DKI ingin agar proses pembayaran tidak dilanjutkan. Namun, ia menyebut keputusan itu nantinya tergantung legal opinion dari kejaksaan.

"Kami lihat nanti legal opinion-nya seperti apa. Apakah direkomendasikan bayar atau tidak. Kalau direkomendasikan bayar, ya nanti di (APBD) Perubahan (2017) kami masukan," kata Saefullah.

Sampai berita ini diturunkan, Kompas.com masih berupaya mengonfirmasi fakta terbaru mengenai lahan eks Kedubes Inggris ini ke berbagai pihak, mulai dari Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan kepada Ahok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanda Duka Cita, Mahasiswa UI Peringati 9 Tahun Kematian Akseyna

Tanda Duka Cita, Mahasiswa UI Peringati 9 Tahun Kematian Akseyna

Megapolitan
500 Siswa SMA Ikut Pesantren Kilat di Kapal Perang KRI Semarang

500 Siswa SMA Ikut Pesantren Kilat di Kapal Perang KRI Semarang

Megapolitan
Soal Peluang Maju Pilkada DKI, Heru Budi: Hari Esok Masih Penuh Misteri

Soal Peluang Maju Pilkada DKI, Heru Budi: Hari Esok Masih Penuh Misteri

Megapolitan
Sopir Truk Akui Kecelakaan di GT Halim karena Dikerjai, Polisi: Omongan Melantur

Sopir Truk Akui Kecelakaan di GT Halim karena Dikerjai, Polisi: Omongan Melantur

Megapolitan
Sebelum Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR, Petugas Sudah Pernah Tegur Pelaku Pungli

Sebelum Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR, Petugas Sudah Pernah Tegur Pelaku Pungli

Megapolitan
Sudah 1,5 Tahun Kompolnas dan Polisi Belum 'Update' Kasus Kematian Akseyna

Sudah 1,5 Tahun Kompolnas dan Polisi Belum "Update" Kasus Kematian Akseyna

Megapolitan
Ucap Syukur Nelayan Kamal Muara kala Rumahnya Direnovasi Pemprov DKI

Ucap Syukur Nelayan Kamal Muara kala Rumahnya Direnovasi Pemprov DKI

Megapolitan
Rekonstruksi Kasus Penembakan Ditunda sampai Gathan Saleh Sehat

Rekonstruksi Kasus Penembakan Ditunda sampai Gathan Saleh Sehat

Megapolitan
Buntut Pungli Sekelompok Orang, Dinas Bina Marga DKI Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR

Buntut Pungli Sekelompok Orang, Dinas Bina Marga DKI Tutup Celah Trotoar Dekat Gedung DPR

Megapolitan
Warga Bogor Tertipu Penjual Mobil Bekas di Bekasi, padahal Sudah Bayar Lunas

Warga Bogor Tertipu Penjual Mobil Bekas di Bekasi, padahal Sudah Bayar Lunas

Megapolitan
Gandeng Swasta, Pemprov DKI Renovasi 10 Rumah Tak Layak Huni di Kamal Muara

Gandeng Swasta, Pemprov DKI Renovasi 10 Rumah Tak Layak Huni di Kamal Muara

Megapolitan
Singgung 'Legal Standing' MAKI, Polda Metro Jaya Sebut SKT sebagai LSM Sudah Tak Berlaku

Singgung "Legal Standing" MAKI, Polda Metro Jaya Sebut SKT sebagai LSM Sudah Tak Berlaku

Megapolitan
Penyidikan Aiman Witjaksono Dihentikan, Polisi: Gugur karena Tak Berkekuatan Hukum

Penyidikan Aiman Witjaksono Dihentikan, Polisi: Gugur karena Tak Berkekuatan Hukum

Megapolitan
Belum Tahan Firli Bahuri, Kapolda Metro Terapkan Prinsip Kehati-hatian

Belum Tahan Firli Bahuri, Kapolda Metro Terapkan Prinsip Kehati-hatian

Megapolitan
Dishub DKI Jaga Trotoar di Jakpus yang Dimanfaatkan Sekelompok Orang Tarik Bayaran Pengendara Motor

Dishub DKI Jaga Trotoar di Jakpus yang Dimanfaatkan Sekelompok Orang Tarik Bayaran Pengendara Motor

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com