JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang kasus penghadangan yang dialami calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor dua, Djarot Saiful Hidayat di Kembangan Utara, Jakarta Barat akan dimulai Selasa (13/11/2016) hari ini. Sidang akan dilangsungkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Reda Mantovani mengatakan, sidang pertama akan beragendakan pembacaan surat dakwaan, eksepsi dan mendengarkan keterangan sejumlah saksi, termasuk Djarot.
"Saksi-saksi akan hadir untuk didengar keterangannya," kata Reda melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Senin (12/12/2016) malam.
Menurut Reda, sidang kasus penghadangan yang dialami Djarot akan dilangsungkan secara maraton selama tujuh hari sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Terduga pelaku penghadangan Djarot di Kembangan Utara adalah seorang pria berinisial NS, warga Kembangan Selatan.
NS diduga telah melanggar melanggar Pasal 187 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam Pasal 187 Ayat 4 disebutkan, tiap orang yang menghalangi jalannya kampanye dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6 juta.
Sementara itu, Djarot berjanji akan hadir dalam sidang perdana. Djarot mengaku telah memaafkan orang yang menghadangnya. Dia berharap persidangan bisa memberikan pelajaran demokrasi bagi masyarakat.
"Saya pribadi memaafkan pada siapa pun yang melakukan penghadangan itu. Sekaligus memberikan pendidikan, pembelajaran, dan pendewasaan demokrasi," kata dia seusai menghadiri acara maulid nabi di Jalan Talang Nomor 3, Menteng, Jakarta Pusat, Senin kemarin.
Kasus penghadangan kampanye Djarot di Kembangan Utara terjadi pada 9 November 2016. Penghadangan dilatarbelakangi kasus dugaan penodaan agama oleh calon gubernur pasangan Djarot, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Saat penghadangan, Djarot sempat menemui orang yang berperan sebagai komandan aksi penolakan itu. Djarot meminta agar dirinya tak dihalangi berkampanye dan mengimbau warga mengikuti proses hukum yang berlaku terkait kasus dugaan penistaan agama. Namun akhirnya penghadangan itu berhasil menggagalkan Djarot untuk berkampanye di Kembangan Utara.
Tim pemenangan Ahok-Djarot melaporkan hal itu kepada Bawaslu DKI Jakarta. Setelah beberapa kali memanggil pelapor dan terlapor, Bawaslu DKI Jakarta menyatakan penghadangan kampanye Djarot di Kembangan Utara sebagai pelanggaran pidana.
Kasus itu kemudian dilaporkan kepolisian dan setelah berkasnya lengkap dan ada tersangka yang ditetapkan, kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan. (Baca: Penghadangan Kampanye Dinilai Rugikan Masyarakat)
Wali Kota diduga langgar kode etik
Selain adanya unsur pidana, kasus penghadangan Djarot juga memunculkan kasus lain, yakni dugaan ketidaknetralan Wali Kota Jakarta Barat, Anas Effendi, yang datang ke lokasi kampanye Djarot. Pasalnya, sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Anas harus bertindak netral. Panwaslu Jakarta Barat diketahui telah mengirimkan surat hasil kajian mereka kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (ASN) DKI Jakarta.
"Kami baru dugaan ada indikasi pelanggaran kode etik saja. Nanti kan diteruskan ke Komisi ASN, biarkan Komisi ASN yang menilai," ujar Ketua Panwaslu Jakbar, Puadi, beberapa waktu lalu.
Puadi menuturkan, Anas diduga melanggar kode etik ASN sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Karena itu, Komisi ASN-lah yang paling memiliki wewenang untuk memberikan sanksi apabila Anas terbukti melakukan pelanggaran.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono menyatakan keputusan terhadap Anas akan mengacu surat rekomendasi dari Bawaslu DKI Jakarta. Sampai sejauh ini, Sumarsono menilai tidak ada yang dilanggar Anas. (Baca: Wali Kota Jakbar Diduga Langgar Kode Etik karena Hadir di Lokasi Kampanye Djarot)
Sebab, kata dia, Anas datang untuk mengondusifkan situasi di lapangan. Menurut Sumarsono, Anas baru datang ke lokasi setelah adanya permintaan dari Kapolres Metro Jakarta Barat.
"Saya kira itu sah-sah saja wali kota menentramkan lingkungan didampingi oleh kapolres atau Forkopimda lainnya," kata Sumarsono.