Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Menyidang Ahok dan Menimbang Amok

Kompas.com - 15/12/2016, 15:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kasus Ahok dan problematika hukum di sekitarnya tetap menjadi isu yang menarik untuk dikaji dan ditulis. Karena itulah, catatan Kamisan saya kembali mengulas soal Ahok, dan persoalan hukum di sekitarnya.

Namun, menulis soal Ahok—utamanya akhir-akhir ini—bukanlah persoalan mudah.

Sekeras apa pun kita berusaha untuk menulis secara obyektif, berdasarkan ilmu hukum yang saya pelajari, tetap saja hasil tulisan itu akan dilihat secara subyektif berdasarkan sudut pandang masing-masing pendukung ataupun penentang Ahok.

Mau tidak mau, situasi kompetisi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tetap menyeruak dalam alam pikir para pembaca, sehingga memaknai narasi yang saya tuliskan dalam suasana hatinya masing-masing.

Bagi saya, hal demikian wajar dan tidak bisa dihindari. Jadi, saya pasrahkan saja kepada sidang pembaca untuk menilai dan menyikapi catatan ini.

Hal yang pasti dari sisi saya, catatan Kamisan ini tetap saya tuliskan seobyektif mungkin tanpa pretensi untuk mendukung atau menjadi alat kampanye pihak mana pun.

Namun, bukan berarti tulisan ini tidak punya nilai keberpihakan. Bersikap obyektif bukan berarti tidak memihak.

Bersikap obyektif berarti menyampaikan pemikiran berdasarkan keilmuan, profesional, rasional, bukan berdasarkan keberpihakan emosional apalagi partisan—terlebih karena bayaran.

Namun, jika sikap obyektif itu menguntungkan posisi salah satu pihak, bukan berarti itu sikap partisan yang diharamkan.

Menurut saya, justru itu adalah keberpihakan profesional yang wajib dihalalkan.

Dengan pengantar demikian, izinkan saya mengklarifikasi dua hal. Pertama, menegaskan kepada pendukung atau pun penentang Ahok bahwa tulisan ini adalah sumbangsih pemikiran saya atas persoalan hukum di sekitar kasus Ahok.

Hal yang pasti, saya pribadi bukanlah pendukung Ahok, khususnya dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.

Kebetulan pula saya sedang di Melbourne, Australia, sehingga tidak ikut memilih gubernur Jakarta pada Februari yang akan datang.

Kenapa saya perlu menegaskan posisi itu? Karena menurut saya, banyak faktor yang berkelindan dalam kasus penodaan agama Ahok, termasuk salah satunya adalah kompetisi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dengan menegaskan bahwa saya bukan pendukung Ahok dalam kompetisi tersebut, saya berharap agar pandangan saya dalam catatan ini bisa dibaca dengan kacamata lebih obyektif—meskipun saya paham, hal demikian tidaklah mudah.

Dari beberapa kali berkomunikasi dengan pendukung dan penentang Ahok, masing-masing sudah punya penyikapan sendiri dan sulit menerima pandangan yang berbeda.

Padahal, perbedaan adalah keniscayaan dan bagaimana menemukan persamaan adalah kunci solusi untuk menyelesaikan pertikaian.

Klarifikasi kedua, adalah soal judul catatan Kamisan kali ini, “Menyidang Ahok dan Menimbang Amok”. Saya memilih judul itu dengan berbagai pertimbangan.

Di samping enak dibaca, judul itu sebenarnya ingin menunjukkan inti dilema hukum dalam tulisan ini, yaitu pertarungan antara prinsip independensi peradilan di satu sisi, dengan urgensi intervensi pada sisi yang lain.

Posisi dilematis demikian hadir dalam banyak kasus dan dalam kasus Ahok kadar dilematisnya menjadi jauh lebih besar.

Selanjutnya, kata "Ahok" dan "Amok" juga menyimpan makna lebih dalam. Pada batas tertentu, kata "Ahok" menjadi ciri khas Indonesia, karena dia adalah alias dari nama Indonesia Basuki Tjahaja Purnama.

Saudara-saudara kita yang beretnis Tionghoa, berdasarkan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, dianjurkan mengganti namanya dengan nama Indonesia.

Meskipun hanya merupakan anjuran, aturan hukum itu dirasakan menjadi wajib. Saya berpandangan, sikap diskriminatif demikian ada baiknya kita hentikan.

Setiap orang harus diberikan kebebasan untuk memilih nama sesuai adat dan kebiasaan, agama atau pun asal-usul keluarganya. Mari kita hentikan kebijakan rasis dalam bentuk apa pun.

Kata "Amok", adalah kata khas dari bahasa Indonesia yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris, untuk menggambarkan aksi kumpulan masa yang destruktif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Staf Khusus Bupati Kediri Ikut Daftar Bakal Calon Wali Kota Bogor Lewat PDI-P

Megapolitan
4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

4 dari 7 Korban Kebakaran Toko Bingkai di Mampang adalah Satu Keluarga

Megapolitan
Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Tangkap Komplotan Pencuri yang Beraksi di Pesanggrahan, Polisi Sita 9 Motor

Megapolitan
Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran 'Saudara Frame' Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Alami Luka Bakar Hampir 100 Persen, 7 Jenazah Korban Kebakaran "Saudara Frame" Bisa Diidentifikasi Lewat Gigi

Megapolitan
Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Melawan Saat Ditangkap, Salah Satu Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditembak Polisi

Megapolitan
Uang Korban Dipakai 'Trading', Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Uang Korban Dipakai "Trading", Pelaku Dugaan Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Mengaku Siap Dipenjara

Megapolitan
Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Siswa SMP yang Gantung Diri di Palmerah Dikenal Aktif Bersosialisasi di Lingkungan Rumah

Megapolitan
Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai 'Saudara Frame' Berhasil Diidentifikasi

Identitas 7 Jenazah Korban Kebakaran Toko Bingkai "Saudara Frame" Berhasil Diidentifikasi

Megapolitan
Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Restorasi Rumah Dinas Gubernur DKI Sebesar Rp 22 Miliar Tak Hanya untuk Perbaikan, tapi Juga Penambahan Fasilitas

Megapolitan
Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Komplotan Pencuri Motor di Pesanggrahan Ditangkap Polisi

Megapolitan
Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Komisi A DPRD DKI Desak Pemprov DKI Kejar Kewajiban Pengembang di Jakarta soal Fasos Fasum

Megapolitan
Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Ambil Formulir Calon Wali Kota Bogor Lewat PDIP, tapi Belum Mengembalikan

Megapolitan
Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Tak Bisa Lagi Kerja Berat Jadi Alasan Lupi Tetap Setia Menarik Sampan meski Sepi Penumpang

Megapolitan
Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Teman Siswa yang Gantung Diri di Palmerah Sebut Korban Tak Suka Cerita Masalah Apa Pun

Megapolitan
Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Demo di Depan Kedubes AS, Koalisi Musisi untuk Palestina Serukan Tiga Tuntutan Sebelum Membubarkan Diri

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com