JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum telah menanggapi semua nota keberatan yang pernah dibacakan oleh terdakwa kasus dugaan penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).
Setidaknya, ada empat poin keberatan Basuki alias Ahok yang ditanggapi oleh Jaksa. Pertama adalah soal Ahok yang tidak memiliki niat untuk menghina agama dan ulama.
Pernyataan soal surat Al-Maidah ayat 51 itu ditujukan Ahok untuk oknum elit yang memanfaatkan ayat Al-Quran secara tidak benar karena tidak mau bersaing sehat.
Untuk menanggapi ini, Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono mengatakan, Pasal 156 huruf a KUHP yang didakwakan kepada Gubernur non-aktif DKI Jakarta itu tidak berkaitan dengan penafsiran Surat Al Maidah ayat 51.
Selain itu, untuk menilai ada tidaknya niat seseorang menodai agama, hal itu tidak hanya dilihat dari niat dan pernyataan terdakwa, seperti yang disampaikan Ahok dalam eksepsinya. Namun, hal tersebut harus dilihat dari rangkaian peristiwa yang saling berkaitan.
Peristiwa yang saling berkaitan itu adalah Ahok melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu sebagai gubernur. Namun, dalam sambutannya, Ahok mengaitkan Surat Al Maidah ayat 51 dengan pelaksanaan pilkada tahun 2017.
"Pada saat itu pula, terdakwa terdaftar sebagai calon gubernur dan mengetahui penyelengaraan pilkada 2017, dan saat itu juga mengatakan kepada warga yang mayoritas beragama Islam (untuk) jangan percaya sama orang dibohongi sama Al Maidah 51," kata dia.
JPU menilai, pernyataan Ahok tidak dapat dipisahkan dengan mendudukkan Surat Al Maidah ayat 51 sebagai sarana untuk membodohi masyarakat. Unsur kesengajaan yang dimaksud JPU akan dibuktikan dalam tahap pembuktian.
Kedua, Jaksa juga menanggapi kepedulian Ahok terhadap umat Islam seperti yang tertulis pada nota keberatannya. Salah satunya terkait Ahok yang banyak membangun rumah ibadah, menyumbangkan 2,5 persen gajinya, dan ikut memberi bantuan daging saat Idul Adha. Menurut Jaksa, ini merupakan hal yang wajar dilakukan oleh gubernur.
"Sepanjang hal tersebut menyangkut kebijakan terdakwa sebagai gubernur dalam menggunakan dana APBD DKI, adalah hal yang wajar dan biasa dilakukan pejabat publik di mana saja," ujar Jaksa.
Ketiga, adalah terkait Ahok yang mengutip salah satu sub-judul bukunya yang diberi judul "Berlindung Dibalik Kitab Suci" dalam nota keberatannya. Secara singkat, sub-judul di buku tersebut menceritakan soal pengalaman Ahok yang sering dibenturkan dengan Al-Maidah ayat 51 selama karier politiknya.
Menurut Ahok, oknum elit menggunakan ayat ini untuk memecah belah rakyat demi memuluskan jalan meraih kekuasaan. Ahok juga menulis bahwa oknum elit yang menggunakan ayat itu tidak mau bersaing sehat dengan adu program dan strategi.
Menanggapi itu, Jaksa menyebut nota keberatan Ahok menimbulkan potensi perpecahan.
"Pernyataan dan isi kutipan buku tersebut itu justru berpotensi menimbulkan perpecahan di kalangan anak bangsa, khususnya pemeluk agama Islam dan bahkan dapat menimbulkan persoalan baru," ujar Jaksa.
Jaksa juga menyebut Ahok telah merasa paling benar sendiri terkait metode berkompetisi di Pilkada. Jaksa mengacu kepada sikap Ahok yang mengharuskan calon kepala daerah untuk adu program dalam pilkada.
"Dalam kaitan ini, terdakwa telah menempatkan diri sebagai orang paling benar dengan mengharuskan kandidat kepala daerah supaya menggunakan metode yang sama dengan terdakwa yaitu dengan adu program," ujar Jaksa.
"Sebaliknya, yang gunakan metode lain disebut tidak sepaham dengan terdakwa, termasuk yang menggunakan surat Al-Maidah ayat 51, dianggap sebagai oknum elite yang pengecut," kata Jaksa.
Jaksa mengatakan, seharusnya koridor yang digunakan adalah peraturan Undang-undang yang berlaku. Jika kepala daerah lain tidak menggunakan metode yang sama dengan Ahok, maka tidak bisa dipermasalahkan. Selama metode yang digunakan tidak melanggar peraturan.
Keempat, Jaksa juga menanggapi pernyataan Ahok tentang alasan turunnya surat Al Maidah ayat 51 yang ditulis di nota keberatannya.
Pekan lalu, Ahok menyampaikan pendapat teman-temannya yang menyebut turunnya ayat ini bukan dalam rangka memilih kepala daerah, melainkan diturunkan saat ada umat Islam yang ingin membunuh Nabi Muhammad dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi.
"Pendapat ini tidak bisa diverifikasi sumbernya karena terdakwa mengatakan hanya berasal dari jawaban teman-teman terdakwa," ujar Jaksa.
Jika diingat, pekan lalu Ahok membaca nota keberatannya di persidangan sambil menangis. Ahok mengaku sedih karena mengingat keluarga angkatnya yang beragama muslim, sementara dia malah duduk di kursi terdakwa atas tuduhan menodai agama Islam.
Pekan depan, Selasa (27/12/2016), hakim akan mengumumkan putusan sela yang menentukan kelanjutan persidangan ini.