Menurut Paulus, setelah itu tak ada jawaban pasti. Namun, mereka mendapatkan surat kedua.
“Pada surat kedua yang diterima pada 28 Desember 2016, mereka memberi kami waktu hingga 15 Januari 2017. Buat kami ini tetap tidak cukup. Kami mau bertemu,” kata dia lagi.
Maka dari itu, para pedagang sepakat untuk melayangkan surat jawaban atas surat yang diterimanya itu.
Mereka akan menuliskan keberatannya dalam surat yang ditandatangani perwakilan pedagang yang tergabung dalam paguyuban.
Di ujung tanduk
Kisah ini tak biasa mengingat para pedagang itu sudah berjualan puluhan tahun di lahan tersebut. Mereka menempati kawasan tersebut sejak 1992.
Beberapa rumah makan di antaranya sudah dipegang oleh generasi kedua, termasuk usaha yang sedang dijalani Paulus. Tempat itu disebutnya sudah menghidupi banyak keluarga secara turun-temurun.
“Terlebih lagi yang dijual adalah makanan tradisional dari yang halal sampai non-halal. Ibaratnya dari makanan Medan, Padang, Jakarta, dan Makassar, ada semua di sini. Bukankah sudah sangat jarang kawasan seperti ini?” tutur Paulus.
Kini, kisah 24 tahun mencari nafkah di kawasan itu harus selesai. Surat keberatan sebagai jawaban mereka atas surat kedua tadi mendapat tanggapan bahwa mereka tetap harus angkat kaki per 28 Februari 2017.
Menurut Paulus, ada lebih kurang 200 orang pekerja yang harus hidup dalam ketidakpastian apabila rumah makan di kawasan itu ditutup.
“Susah bayanginnya. Ada 22 pengusaha rumah makan dengan karyawan masing-masing 4 sampai 15 orang. Kalau dihitung, kurang lebih ada 200 orang tenaga kerja yang harus kembali bertaruh hidup setelah ini,” paparnya.
Ahmad Sumanap adalah satu dari pedagang yang saat ini juga sedang harap-harap cemas memikirkan nasib.
Ahmad bukan pemilik rumah makan. Namun, sejak 1992 ia dipercaya mengurus RM Kebon Sirih dengan menu makanan Makassar.
”Terbayang harus kembali jatuh bangun rintis usaha di lokasi yang baru. Kalau di sini kan jelas pelanggannya, hari biasa saja sudah ramai,” ujar Ahmad.