JAKARTA, KOMPAS - Aroma khas tercium kuat saat memasuki kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. Rupanya, aroma itu berasal dari dupa atau hio yang terlihat dibakar di sejumlah rumah yang berada di Petak Sembilan, yang dikenal sebagai kawasan permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di Jakarta.
Hio yang dibakar dan ditempatkan di depan pintu rumah memang menjadi keunikan khas etnis Tionghoa, termasuk di kawasan pecinan Petak Sembilan.
Selain bau hio, pemandangan rumah-rumah atau ruko berdempetan juga dapat ditemui di sepanjang jalan. Apalagi, saat menyusuri pasar Petak Sembilan, walau terlihat seperti pasar pada umumnya, di kiri dan kanannya ada rumah yang terlihat seperti bangunan tua.
"Di pasar memang banyak rumah tua," ujar salah satu petugas keamanan di daerah tersebut, saat ditemui Kompas.com, Selasa (24/01/2017).
Nuansa pecinan begitu kental terasa saat masuk ke dalam, melalui Jalan Pancoran, mendekati Jalan Kemenangan, karena di pasar tersebut ada banyak rumah makan khas Tionghoa. Mereka menjual bakmi, sea food, dan kue-kue khas China.
Beberapa toko juga menjual pernik-pernik aksesoris Imlek atau perayaan Tahun Baru China. Mereka memajang lampion warna merah bertuliskan huruf China, pohon sakura berwarna merah atau merah jambu, serta pakaian dan gaun khas Imlek.
Semakin jauh Kompas.com menyusuri pasar Petak Sembilan, bau hio makin terasa 'tajam'. Ternyata, tak jauh dari pasar ada empat wihara yang berdekatan.
Warna merah pun mendominasi keempat bangunan wihara itu. Sementara itu, di dalam wihara ada lilin-lilin raksasa berwarna merah bertuliskan huruf China yang menyala.
Dari keempat wihara tersebut, yang paling terlihat tua adalah Vihara Kim Tek Le atau dewa penolong. Posisi bangunan yang juga dikenal dengan nama Jin De Yuan ini ada di paling kanan dari pintu masuk utama.
"Wihara itu paling tua di Jakarta, umurnya kira-kira 300 tahun," ujar Edi yang sehari-hari bekerja membersihkan wihara di kawasan tersebut.
Wihara itu, biasa disinggahi untuk mendoakan anggota keluarga yang sudah meninggal.
"Kalau kedua wihara itu berdirinya 100 tahun sesudah Vihara Kim Tek Le," ujar Edi.
Sementara itu, di sebelah Vihara Tee Tjong Ong Poo, berdiri Vihara Hui Tek Bio. Menurut petugas setempat, wihara ini sering didatangi warga keturunan Thionghoa bermarga Yapin.
Namun sayang, keindahan dan kekhusyukan tempat ibadah itu terganggu oleh kehadiran para pengemis. Mereka ada di halaman keempat wihara, berharap belas kasihan pengunjung untuk mendapatkan uang.
Bersolek
Berdasarkan pengamatan Kompas.com, keempat wihara itu sedang bersolek untuk menyambut Imlek atau peringatan Tahun Baru berdasarkan penanggalan China. Setidaknya hal itu, terlihat dari kesibukan para pekerja wihara.
Sebagian ada yang sibuk dengan kuas cat untuk mewarnai ulang tembok bangunan dengan warna merah. Sebagian lagi, terlihat mengecat tembok pagar dengan warna hitam.
Di dalam wihara terlihat petugas yang tak henti-henti menyapu lantai agar bersih. Ada pula yang membersihkan dinding, lalu ornamen lainnya dengan kain basah.
"Sudah seminggu ini kami bersih-bersih dan mengecat untuk persiapan Imlek, " ujar Sularno, salah satu pekerja di Vihara Kim Tek Le, kepada Kompas.com.
Menurut pria berusia 50 tahun itu, ada sekitar 20 orang yang terlibat untuk mempercantik wihara tersebut.
Tak cuma dari segi bangunan, berbagai aksesoris khas Imlek pun sudah mulai terpasang di dalam wihara.
Lampion atau lampu khas yang berwarna merah dan bertuliskan huruf China misalnya, terlihat sudah mulai menggantung indah di langit-langit wihara.
Yeni, salah satu pengunjung yang ditemui Kompas.com mengaku, tidak ada yang berubah dari aktivitas sembahyang di wihara.
"Biasa-biasa saja tetap berdoa," ucap Ibu berusia 53 tahun itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.