Kompas.com sempat menemui salah satu jemaah yang juga tinggal di kawasan itu, Koe Hoeng Woei (64).
Woei yang akrab dipanggil Awai itu mengatakan, jemaah yang datang pada hari biasa berbeda tujuan dengan mereka yang datang saat Imlek.
Pada hari biasa seperti ini, biasanya jemaah melantunkan doa untuk leluhur.
“Bisa juga untuk orangtua, kakak, adik, atau anak. Sedangkan saat Imlek, jemaah datang untuk memohon doa agar mendapatkan berkah sepanjang tahun yang baru akan dijejaki,” kata Awai.
(Baca juga: Patung Dewi Kwan Im Selamat dari Kebakaran Wihara Dharma Bhakti)
Biasanya, menurut dia, jemaah datang ke kelenteng bersama keluarga. Kelenteng biasanya sudah dipenuhi jemaah sejak pukul 7 malam sebelum Imlek tiba. Puncaknya terjadi pada pukul 12 malam.
“Pengunjung akan membeludak. Masing-masing khusyuk dalam doa dengan tangan memegang dupa,” kata dia.
Selesai berdoa, biasanya masyarakat Tionghoa akan berkumpul di rumah tetua—orang yang dituakan—keluarga. Mereka akan saling berpelukan, memohon maaf atas apa yang telah diperbuat pada tahun sebelumnya.
“Yang muda datang ke rumah yang lebih tua atau berkumpul di rumah keluarga paling tua. Nanti di sana selain sungkeman—memohon maaf, juga menikmati menu khas Imlek, seperti, ikan bandeng, dan kue keranjang,” ujar Tan.