JAKARTA, KOMPAS.com - Di saung berwarna dominan coklat, Muhammad Rizal, Omat, dan Murodi duduk-duduk.
Kepulan asap sesekali keluar dari mulut mereka, bekas mengisap batangan rokok putih. Teman di dalam saung itu hanya kopi dan candaan-candaan kecil.
Beginilah keseharian mereka, pedagang tanaman hias Senayan yang sudah direlokasi dari trotoar sejak tujuh bulan lalu. Kini, mereka berkumpul di Parkir Timur Senayan.
"Lebih banyak ngobrolnya (dengan sesama pedagang) daripada transaksi dengan pembeli," ujar Rizal.
Hampir tak ada tamu yang mampir ke lapak penjual tanaman yang memanjang di lokasi baru tersebut.
Tuan-tuan dari tanaman itu hampir semuanya berada di saung. Ada yang tak kuasa menahan kantuk, ada pula yang bercengkerama dengan pedagang kopi.
Rizal mengatakan, ia merasakan betul perbedaan sebelum dan sesudah direlokasi. Perbedaan paling terasa adalah besar pendapatannya.
Saat di trotoar depan Kompleks Gelora Bung Karno (GBK) dulu, kata dia, ada saja pembeli setiap pekannya. Namun sekarang, pernah dua sampai tiga bulan, lapaknya tak didatangi pembeli.
“Namanya trotoar, tempat orang hilir mudik. Ada saja yang beli. Sekarang, kayak hari ini, belum ada yang mampir (ke lapak). Orang yang ke sini harus niat membeli karena sekarang kan ada biaya parkir di dalam,” tambahnya.
(Baca juga: Pedagang Tanaman Senayan: Pak Ahok, Minta Toleransilah...)
Kepala Paguyuban Pedagang Tanaman Hias Senayan, Muhammad Mansyur, mengamini hal itu. Ia bilang, Senayan seperti kehilangan identitas.
“Kalau dulu, kepikiran tanaman hias pasti yang terlintas (adalah) Senayan. Identitas itu nyaris hilang,” kata Mansyur.
Kawasan Senayan selama ini dikenal sebagai salah satu tempat untuk mencari tanaman hias.
Sebab, menurut Mansyur, para pedagang tanaman hias sudah berjualan puluhan tahun di trotoar kawasan Senayan.
Dia pribadi sudah berjualan di sana sejak 2002. Sebelumnya, lapak tanaman hias yang ia kelola adalah usaha milik kakaknya.
“Kakak saya dari 1985. Pedagang di sini, rata-rata sudah generasi kedua atau ketiga. Turun temurun, mereka berdagang tanaman hias,” lanjutnya.
Selain itu, kata Mansyur, tanaman yang dijual para pedagang di Senayan lebih lengkap.
Sudah begitu, mereka mampu memberikan harga lebih murah. Tanaman hias yang dijual Mansyur mulai dari Rp 10.000-Rp 11.000.000.
Mata pencarian utama
Mansyur sadar betul, ketika imbauan relokasi datang kepadanya, berarti harus ada waktu adaptasi lagi. Terlebih lagi, lokasi yang disediakan berada di dalam Kompleks GBK.
Ia menanamkan pikiran positif bahwa pihak pengelola ingin memberikan tempat lebih laik.
Kalau sebelumnya lapak pedagang terkesan asal, kini lapak mereka ditata dengan luas satu lapak 3 x 5 meter.
“Lebih rapi memang kelihatannya, lalu beberapa bulan lalu juga dibangun saung-saung seperti tempat wisata. Tempatnya lebih nyaman, andai saja dibarengi dengan banyaknya pembeli,” imbuh Mansyur.
“Ternyata, tidak semudah itu. Sampai saat ini, adanya pameran tidak begitu mempengaruhi datangnya pengunjung ke lapak kami. Meskipun, masih ada orang yang iseng datang membeli saat akhir pekan. Mereka adalah orang-orang yang datang olahraga,” tutur dia.
(Baca juga: Meski Keberatan, Pedagang Tanaman Senayan Mundurkan Lapak)
Keadaan yang seperti itu membuat teman-temannya sesama pedagang banyak mengeluh.
Bahkan, kata Mansyur, jumlah pedagang mulai berkurang. Tadinya ada 115 pedagang di sana. Kini, jumlahnya tinggal 80-an.
Kata Mansyur, pedagang berkurang karena banyak yang beralih profesi. Kalau tetap di sini, mereka tak kuat dengan biaya sewa yang harus dibayarkan per bulan.
Sebelum direlokasi, pedagang hanya perlu membayar retribusi lebih kurang Rp 90.000 per bulan. Sekarang, satu lapak dihargai Rp 250.000 per bulan.
“Kalau saya tidak bisa seenaknya pindah profesi. Keluarga bergantung pada tanaman hias. Ini mata pencarian utama,” ujar bapak dua anak tersebut.
Mansyur menuturkan, sejak direlokasi, keadaan finansial keluarganya mulai morat-marit.
Ia mengilustrasikan pedapatannya sekarang hanya 10 persen dibandingkan saat ia masih berjualan di trotoar dahulu.
“Bedanya 1 banding 10. Ya, mau bagaimana lagi, begitulah kalau pedagang kaki lima. Dulu waktu diminta mundur, kami sama-sama mundurin lapak. Harus siap kalau ditertibkan,” ujarnya.
Kenangan
Mansyur turut mengenang masa jayanya dulu. Ia bilang jatuh cinta dengan profesi ini tak sengaja.
Saat ia lulus dari sekolah teknik menengah, kakaknya mengajak untuk membantu usaha tanaman hias.
Sebagai lulusan teknik, ia malu untuk menguruk tanah dan mengurus tanaman. Akan tetapi, saat terpentok dengan sulitnya mendapat pekerjaan di Jakarta, tanaman hiaslah yang membantu ekonomi keluarganya.
“Saya mulai coba bantu kakak, dan mendapatkan fakta bahwa usaha ini menjanjikan. Tiap ada pembangunan rumah atau kantor di mana saja, pasti butuh tanaman hias. (Yang saja jual) ini adalah kebutuhan banyak orang dan akan terus begitu,” katanya lagi.
Siapa sangka, dari profesi ini, ia bisa bertemu mulai dari pejabat sampai presiden.
“Yang datang orang-orang nomor satu. Soeharto, BJ Habibie, dan Gus Dur pernah datang. Bahkan tamu negara seperti Perdana Menteri Jepang juga pernah mengunjungi lapak dagang kami,” kata dia.
Namun, ia tak ingin kejayaan yang didapatkan dulu hanya tinggal kenangan. Saat ini, ia dan pedagang lainnya berharap pengelola punya cara untuk membantu mendatangkan banyak pengunjung.
“Kami pikir, (kami) butuh pendampingan. Acara pameran, misalnya, bisa membuat kami kembali dikenal,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.