JAKARTA, KOMPAS.com - Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono mengatakan, salah satu alasan pemberian opini wajar dengan pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Pemprov DKI dikarenakan banyaknya piutang yang tak tertagih oleh Pemprov DKI.
Soni, sapaan Sumarsono menjelaskan, piutang yang tak tertagih salah satunya akibat pemerintah mengabulkan pembebasan utang Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lahan (SP3L).
Padahal, prinsip pembebasan lahan yang diajukan telah tercatat sebagai piutang yang harus segera dibayarkan.
"Kalau nilanya banyak dianggap status oleh BPK untuk WDP karena dianggap piutang belum selesai. Angka inilah yang jadi masalah, bukan karena penyimpangan penggunaan APBD, tapi WDP sebagai opini BPK karena banyaknya kewajiban yang tidak tertagihkan," ujar Soni usai rapat bersama Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD ) di Balai Kota, Kamis (2/2/2017).
Soni mengatakan, setiap minggu Pemprov DKI menerima belasan perusahaan yang mengajukan SP3L. Namun, beberapa pengajuan ditolak karena sejumlah alasan. Soni menambahkan, pihaknya berhati-hati memberikan SP3L agar nantinya Pemprov DKI tak lagi merugi. (Baca: Ketua DPRD Nilai Pemprov DKI Dapat WDP karena Terlalu Andalkan CSR)
Agar masalah penagihan piutang bisa terselesaikan, Pemrov DKI berencana membentuk tim yang akan melakukan penagihan terhadap piutang yang belum dibayar. Tim ini diharapkan bisa mengurangi beban piutang Pemprov DKI sekaligus menghindarkan opini WDP dari BPK.
"Dengan adanya tim, pengurangan beban pemerintah provinsi atas status WDP terkurangi. Selama tidak ada tim yang menyelesaikan masalah-masalah yang tercatat sebagai piutang maka Pemprov tidak akan pernah jadi WTP (wajar tanpa pengecualian)," ujar Soni.
BPK memberikan opini WDP terhadap laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2013, 2014, dan 2015.