Mana yang benar? Tergantung isi kepala dan jeroan hati mereka yang memaknainya. Bagi seorang haters, tidak pernah ada yang benar pada sosok yang dibencinya. Bagi seorang lovers, tidak pernah ada yang salah pada sosok yang dipujanya.
Lucunya, kedua kubu ini kemudian bertikai seolah mereka yang paling benar.
Banyak pintu
Seorang teman saya pernah berujar bahwa kebenaran adalah sebuah ruang yang memiliki banyak pintu. Yang kerap diklaim sebagai sebuah kebenaran adalah fakta-fakta netral sampai kita memaknainya dengan semua perangkat pikiran kita, dengan segala memori yang membentuknya.
Begitu juga kebenaran yang hakiki. Ia adalah ruang dengan banyak pintu. Ia tidak ada di luar sana. Ia bersemayam di kedalaman batin yang hening. Mereka yang pernah mencecap ruang itu tidak akan berteriak-teriak turun ke jalan atau menebar ujaran kebencian.
Pertarungan pada Pilkada DKI Jakarta masih akan berlanjut hingga pemungutan suara kedua pada 19 April nanti. Letih rasanya untuk membayangkan ruang-ruang publik kita masih akan diwarnai oleh kebencian dan caci maki. Semoga kini tidak begitu, atau setidaknya tidak sekeras kemarin.
Sesungguhnya, membenci itu adalah menorehkan luka pada kalbu batin yang diam.
Alkisah, pertapa Sidharta Gautama yang mencapai pencerahan dan disebut Buddha akhirnya sadar bahwa cara bertapa menyiksa diri adalah cara yang salah setelah ia mendengar sebuah lagu. Demikian bunyi syair lagu yang didengar Gautama di bawah pohon Bodhi:
Bila senar gitar ini dikencangkan
Suaranya akan semakin tinggi
Putuslah senar gitar ini
Dan lenyaplah suara gitar itu
Bila senar gitar ini dikendorkan
Suaranya akan semakin merendah
Kalau terlalu dikendorkan
Maka lenyaplah suara gitar itu
Karena itu wahai manusia
Mengapa belum sadar-sadar pula
Dalam segala hal janganlah keterlaluan.